BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mengenal
diri sendiri sangat penting sebelum kita mengenal orang lain.Memahami hakikat
diri sendiri lebih sering menjadi hal yang sangat sulit dimata kebanyakan
orang. Mereka sering menilai orang lain namun tak pernah menilai dan mengenal
dirinya sendiri. Banyak orang dengan mudah
mengenali orang lain, tetapi ternyata tidak berhasil mengenali
dirinya sendiri.
Mengenali diri
sendiri tidak semudah mengenal orang lain. Oleh karena itu, siapapun
sedemikian mudah menemukan kesalahan orang lain, tetapi tidak gampang
melihat kesalahan diri sendiri.
Akibatnya, banyak orang menganggap bahwa orang lain selalu salah, kurang, dan tidak ada benarnya. Begitu pula
sebaliknya, dirinya selalu diangaggap paling benar.
Betapa sulitnya mengenal diri sendiri
itu, hingga ada hadits nabi yang mengatakan bahwa siapa saja yang berhasil
mengenal dirinya, maka akan bisa
mengenal Tuhannya. Man arafa nafsahu faqod arafa rabbahu. Seseorang yang mampu mengenal dirinya secara
benar, maka akan berlanjut bisa mengenal
Tuhannya secara benar pula. Namun sayangnya, sekalipun sekedar mengenal
dirinya sendiri ternyata tidak mudah.
Itulah sebabnya, tidak semua orang mampu
mengenal Tuhannya.
Dalam kehidupan
sehari-hari orang yang tidak mampu mengenal
dirinya sendiri dianggap sebagai orang
yang tidak tahu diri. Padahal,
sebutan atau identitas itu
dianggap kurang baik. Orang yang
tahu diri biasanya bisa menempatkan posisiya secara tepat. Tatkala berbicara, mengambil sikap, berperilaku dalam pergaulan, bagi orang yang paham terhadap dirinya sendiri, maka tidak akan melakukan kesalahan. Begitu pula sebaliknya, bagi orang yang tidak tahu diri.
Memahami
diri sendiri, sebagaimana
dikemukakan di muka, ternyata tidak mudah. Akan tetapi seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Oleh karena
itu, mempelajari tentang diri sendiri jauh lebih penting dibanding mempelajari orang lain. Bagi orang
bijak dan arif, justru yang paling
penting adalah memahami diri sendiri agar
bisa meletakkan dirinya secara benar dan tepat. Banyak orang melakukan
kesalahan hanya oleh karena tidak mampu memahami dirinya sendiri.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
arti mengenal diri sendiri?
2.
Apa
arti menjadi diri sendiri?
3.
Bagimana seseorang untuk
bisa memiliki karisma?
C. Tujuan
1.
Memenuhi
tuga mata kuliah perubahan sosial.
2.
Mengetahui
apa arti dari mengenal diri sendiri.
3.
Mengetahui
apa arti menjadi diri sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MENGENALI
DIRI SENDIRI
Where there is a will, there is a way.
(Dimana ada kemauan, disitu ada jalan).
Keterpurukan
Bukan Akhir dari Segalanya
Jika Anda mau
menerima kegagalan dan belajar darinya, jika Anda mau menganggap kegagalan
merupakan sebuah karunia yg tersembunyi dan bangkit kembali, maka Anda memiliki
potensi menggunakan salah satu sumber kekuatan paling hebat untuk meraih
kesuksesan.” ~ Joseph Sugarman
Kesuksesan
mereka bukan semata-mata dipengaruhi oleh faktor pendidikan ataupun modal,
apalagi faktor kebetulan. Mereka berhasil lantaran kekuatan dan kecerdasan
mereka menghadapi tantangan kehidupan. Menurut Paul G. Stoltz, Phd, dalam bukunya
berjudul Adversity Quotient (AQ), ada tiga tipe manusia dalam analogi mendaki
gunung:
1. Quitters – orang-orang yang mudah menyerah,
sehingga kehidupan mereka semakin terpuruk dalam kemalangan.
2. Campers – orang-orang yang mudah puas dengan apa
yang sudah dicapai, sehingga kehidupan mereka biasa-biasa saja.
3. Climbers – orang-orang yang selalu optimis,
berpikir positif dan terus bersemangat kerja sampai benar-benar mendapatkan
yang mereka inginkan.
Contoh dari tipe
orang ke tiga adalah orang-orang yang sukses di dunia ini. Selalu memanfaatkan
kesempatan untuk maju dan pulih dari keterpurukan adalah ciri khas mereka yang
utama. Tak mengherankan jika mereka melalui setiap rintangan dengan tabah,
berjuang keras, dan mental yang kuat.
Siapa tak kenal
Napoleon Bonaparte? Dialah salah satu pemimpin militer paling cerdas daam
sejarah. Prestasinya mulai diperhatikan orag sejak tahun 1793 ketika ia
memimpin serangan terhadap Inggris yang menduduki pelabuhan di Toulon. Pada
tahun 1795 ia mngakhiri pemberontakan di Paris dan pasukannya menang di Italia.
Pada tahun 1799 ia menjadi penguasa dengan bantuan pasukannya, ia mengangkat
dirinya sebagai Konsul Pertama (satu dari tiga pemimpin tertinggi Prancis pada
tahun 1799 - 1804) dan memlihkan pemerintahan yang kacau akibat Revolusi
Prancis. Pada sebuah upacara mewah (tahun 1804) Napoleon Bonaparte menobatkan
diri sebagai Kaisar Prancis. Ia melakukan perubahan sosial, meletakkan dasar
bagi sistem hukum, pendidikan dan keuangan. Puncak kekuasaaannya adalah ketika
pada tahun 1812 Napoleon memerintah Eropa dari Baltik hingga selatan Roma. Kaum
kerabatnya memerintah Spanyol, Italia, serta sebagian Jerman. Sebagian Swiss
dan Polandia juga dikuasai Prancis. Sementara, Denmark, Austria, dan Prusia
menjadi sekutunya. Sayang sekali, kekaisaran Napoleon Bonaparte harus berakhir
dengan kekalahannya dari Inggris dan Prusia di Pertempuran Waterloo pada pada
tahun 1815 yang berakibat pada pengasingan terhadap Napoleon Bonaparte ke Pulau
Elba di Atlantik Selatan.
Namun, kekalahan dan keterpurukan ini
bagi Napoleon bukanlah akhir dari segalanya. Dari pengasingannya, ia masih
sempat mengirim beberapa pesan yang menggambarkan kecintaannya pada negaranya.
Kisah sukses
Napoleon tentu tidak datang begitu saja. Ada satu cerita menarik yang menarik
yang mungkin luput dari perhatian orang, yakni tentang masa kecil Napoleon
Bonaparte ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap pagi, sebelum
berangkat ke sekolah ia selalu menyempaykan diri mampir ke barak tentara,
seiring dengan cita-citanya yang sangat menggebu untuk menjadi seorang tentara.
Di barak itu, keperluannya hanyalah untuk menukarkan bekal sekolahnya dengan
ransum jatah tentara. Alasannya sungguh sederhana; kalau mau jadi tentara,
dirinya harus membiasakan diri makan ransum tentara. Sebuah keajaiban tekad
yang hanya dimiliki oleh segelintir manusia, termasuk salah satunya adalah
Jenderal Soedirman yang meski menderita sakit parah, tetap semangat memimpin
perang gerilya dari atas tandu. Komitmen Jenderal Soedirman tidak pernah luntur.
Ia teguh bertahan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Kondisi
fisiknya yang lemah tidak menghalanginya untuk tetap menyusun kekuatan mengusir
musuh. Inilah salah satu kualitasnya yang menjadikan dirinya sebagai sosok yang
selalu dihormati dan dipercaya rakyat.
Perasaan kalah,
terpuruk, tersingkir dan menderita adalah sisilain dari kehidupan manusia.
Berbeda dengan “keajaiban tekad” yang tidak dialami oleh semua orang, perasaan
terpuruk, tersingkir, atau menderita justru paling sering dialami manusia.
Sebagai contoh, tahun 1980. Saat itu usia saya sekitar 50 tahun dan sedang
semangat-semangatnya memperkenalkan istilah ketahanan pribadi dan pendekatan bottom up di Lemhannas. Respons yang
saya terima ternyata tidak semuanya positif. Sebagian respons justru bersifat
menyerang dan menuduh saya sedang ingin menyebarkan individualisme. Di mata
mereka, di Indonesia jangan pernah berbicara tentang pribadi, tetapi lebih baik
lewat sudut pandang keluarga.
Saya merasa
sendiri dan seolah dipojokkan. Akan tetapi, saya tidak begitu saja menyerah.
Sebaliknya, saya mencoba “menangkis” atau mempertahankan pendapat dengan
mengajukan argumentasi bahwa dalam ajaran Pancasila juga dikenal adanya makhluk
individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya
kalau kita juga melakukan pembinaan terhadap ketiga hal tersebut. Bahkan, saya
coba menyakinkan bahwa apabila seseorang menjadi makhluk individu yang baik dan
dengan demikian juga akan menjadi makhluk Tuhan yang lebih baik. Bukankah dalam
agama Islam, misalnya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan soal ibda’binafsika, yaitu mulailah dari dirimu sendiri dan selanjutnya
keluargamu, begitu seterusnya – sebuah ajaran yang tanpa saya sadari rupanya
telah menginspirasi saya dalam memperkenalkan konsep pendekatan bottom up.
Pengalaman
terpuruk juga pernah saya alami pada usia yang lebih muda lagi, yang dipicu
oleh perbuatan saya saat baru pulang dari bersekolah di Belanda. Sebagai orang
muda, saya menjadi terlalu percaya diri karena merasa telah mendapatkan
pengetahuan yang cukup baik, atau katakanlah saya menjadi “sombong” dalam level
yang paling rendah. Dalam pertumbuhan kehidupan pribadi, saya mengarah menjadi
seorang yang suka menyendiri dan tidak ingin berkelompok karena bertekad
menerapkan segala yang saya peroleh dan alami di luar negeri. Jiwa muda saya
bergelora ingin membuktikan “kehebatan” diri dengan cara bertekad melaksanakan
tugas-tugas yang diberikan sesempurna mungkin. Begitu kuatnya tekad ini – dan
barangkali juga didukung oleh kehidupan Barat yang meskipun baru beberapa tahun
saya kenal, tetapi agaknya benar-benar sudah menyatu dalam diri saya – sehingga
saya sempat tidak menyadari bahwa ada langkah saya yang tercela: terperosok
dalam suatu “hubungan” dengan seorang istri dari seorang perwira menengah.
Akan tetapi,
hubungan ini bukan terjadi lantaran dipicu oleh hawa nafsu, melainkan oleh
faktor ingin terlihat “hebat” dan “sempurna” sebagai pembela keadilan. Saya
ingin menjadi “pahlawan” dan membela wanita tersebut, yang kabarnya menderita
penyakit tak tersembuhkan sehingga tidak mungkin mempunyai anak dan merasa
diperlakukan tidak baik. Barangkali bisa dikatakan bahwa saat itu saya
tergesa-gesa untuk dianggap sebagai seorang yang berkarisma. Be mine concerned
about making others feel good about themselves than you are making them feel
good about you (Lebih memerhatikan untuk mereka merasa nyaman dan penting
tentang mereka sendiri dan tidak meminta mereka mendahulukan/memerhatikan
kepentingan dan rasa nyaman kita), begitu kata Dan Reiland, Vice President of
Leadership Development, INJOY, tentang begaimana seseorang bisa memiliki
karisma.
Semua orang bisa
memiliki karisma asal ia mau mengenali diri sendiri dan mengembangkannya. John
C. Maxwell mencatat setidaknya untuk bisa memiliki karisma seseorang hatus
mampu:
1.
Mencintai kehidupan; orang yang lebih menyukai sosok yang
bisa menikmati hidup daripada sosok yang bisanya hanya menggerutu, mencaci maki
atau mudah putus asa.
2.
Menghargai orang lain; hal yang terbaik yang bisa kita
dilakukan untuk orang lain adalah menghargai mereka. Cara ini sangat tidak
merugikan kita, tetapi sangat menyenangkan bagi orang lain. Benjamin Disraeli,
mantan Perdana Menteri Inggris, mengatakan, “Hal terbaik yang dapat Anda
lakukan kepada orang lain bukanlah membagi kekayaan Anda, melainkan menunjukkan
kekayaan mereka.”
3.
Membangkitkan harapan; harapan adalah milik semua orang. Jika
kita bisa menjadi orang yang mampu membangkitkan harapanorang lain, mereka akan
tertarik pada Anda dan mengidolakan Anda. Napoleon Bonaparte adalah contoh
pemimpinyang mampu membangkitka harapan-harapan pada rakyatnya.
4.
Berbagi (sharing); seorang yang dengan sepenuh hati
dansepenuh hidupnya mau berbegi dengan sesamanya, bila kelak menjadi pemimpin
akan dicintai oleh pengikutnya.
Jika dikaitkan dengan peristiwa yang menimpa saya, maksud yang terdengar
mulia itu berada pada waktu dan tempat yang tidak tepat sehingga justru
menghadapkan saya pada Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) yang waktu
itu dijabat oleh Jenderal Gatot Soebroto.Kepala Wakasad saya mengakui kesalahan
saya dan mengatakan mengkin hal itu terjadi karena dorongan karakter yang
sedang saya kembangkan, dan saya nersedia untuk diberhentikan dari dinas
militer. Saya merasa terpuruk dan pasrah, seolah semua sudah berakhir. Namun,
diluar dugaan, bukan pemecatan yang saya dapatkan, melainkan sebuah kesempatan
untuk membuka mata dan wawasan secara lebih lebar: penugasan baru ke kota
Malang. Mungkin saja ini memang
sebuah “hukuman”, tetapi juga merupakan cara seorang komandan atau atasan
mendidik saya untuk maju melangkah ke depan dengan cara membuka mata saya dan
menggunakan nalar. Dan situlah saya menjadi semakin yakin bahwa keterpurukan
belum tentu akhir dari segalanya.
Sebagai sebuah bangsa,
kita tentu pernah mengalami keterpurukan secara kolektif. Misalnya, dengan
terjadinya krisis moneter dan dan ekonomi (tahun 1997) yang berlanjut dengan
Kerusuhan Mei 1998 serta bencana alam tsunami yang melanda Aceh dan Sumatra
Utara (tahun 2005). Terhadap kedua peristiwa tersebut, kita sangat tersentak
dan tidak siap menghadapi kedatangannya dan seolah itu adalah akhir dari
segalanya. Krisis moneter dan ekonomi, misalnya, membuat kita kalang kabut,
bingung menghadapinya, dan menjadi sangat lambat untuk berusaha bangkit
kembali.akibatnya, krisis terus berkembang dan menjadi krisis multidimensi yang
berkepanjangan. Perilaku yang kemudian menonjol adalah perilaku saling menghujat, saling
menyalahkan, dan saling mengelak dari tanggung jawab, seolah kita sedang
kembali memberlakukan hukum “siapa kuat, ia yang menang”. Keadaan bangsa kita
saat itu sungguh-sungguh sedang pudar, redup, untuk tidak “kehilangan” jati
diri.
Mungkinkah jati diri
bangsa akan hilang? Tidak sepenuhnya demikian sebab jati diri itu tetap ada
pada diri manusia dan tidak akan pernah pergi. Sesungguhnya, yang sedang
terjadi adalah memudarkan jati diri karena tertutupnya mata hati manusia
sebagai akibat dari perilaku manusia yang lebih mengedepankan prinsip homo homini lupus (manusia menjadi
serigala bagi manusia lain) tadi – mumpung
ada kesempatan!
Jangan
Biarkan Kesempatan Berlalu
Kesempatan
(dalam arti positif) memang tidak selayaknya dibiarkan lewat begitu saja. Tak
heran, bila lantas muncul kata bijak “kesempatan tidak akan datang dua kali”.
Banyak pengalaman manusia yang membuktikan kesahihan kata bujak tersebut.
Charlie Chaplin misalnya, nama dan kepopuleran anak seorang pemain musik ini
tentu tak akan pernah mendunia bila ia menyia-nyiakan begitu saja kesempatan
yang ada. Setelah jatuh-bangun hidup sebagai anak jalanan, pada tahun 1914 ia
diterima bekerja pada Mack Sennett di Keystone Studios di Holliwood. Di studio
itu, ia bekerja keras sebagai aktor, penulis naskah, dan sutradara. Hailnya
sungguh luar biasa, dalam kurun satu tahun pertama, ia telah menghasilkan 35
film. Sejak saat itu, Charlie Chaplin yang semula “bukan siapa-siapa” berubah
mrnjadi seorang entertainer kondang yang namanya masih dikenal hingga hari ini.
Tiap orang tentu
punya pengalaman dalam menghadapi sebuah tantangan/kesempatan. Kebanyakan orang
mengawalinya dengan sebuah keragu-raguan; kesempatan itu diambil atau tidak.
Ditimbang, mungkin didiskusikan dengan orang dekat lebih dulu, setelah itu baru
diputuskan. Akan tetapi, tak sedikit yang tanpa ragu-ragu langsung mengmbil
kesempatan atau tantangan itu.
Saya punya
cerita tentang hal ini. Teman-teman semasa SMA Boedi Oetomo (tahun 1950)
ternyata banyak yang mendapatkan kesempatan sekolah ke luar negeri. Setamat SMA
saya sempat hampir 1 tahun mengikuti kuliah di Fakultas Kedokteran. Saat itu
masa perang revolusi, tetapi sebagai seorang pemuda Indonesia, saya tidak
sempat ikut mengalaminya secara fisik. Saya hanya sempat bergabung dengan
kelompok Palang Merah Indonesia, membantu teman-teman yang melakukan gerakan
bawah tanah. Ketuanya, Dr. Soekoyo, paman saya sendiri.
Kebetulan, pada
saat itu di kampus ada pengumuman semacam beasiswa untuk bersekolah di KMA
(Koninkljke Militaire Academie) di Breda, Belanda. Kesempatan itu tidak saya
sia-siakan. Saya mendaftar dan dinyatakan lulus tes – satu di antara 27 orang
calon lain. Beasiswa ini diberikan karena pendidikan Akademi Militer (Akmil) di
Yogyakarta ditutup sejak tahun 1949/1950. Padahal secara kontinue negara kita
membutuhkan pembentukan perwira-perwira baru. Itulah sebabnya, selama dalam
kevakuman itu, Pemerintah mengirinkan calon perwiranya ke negeri Belanda sambil
menunggu Akademi Militer di Yogyakarta dibuka kembali. Ternyata barulah pada
tahun 1958/1959 Akademi Teknik Angkatan Darat (Bandung) dibuka, dan selanjutnya
Akmil di Magelang. Pengiriman pendidikan calon perwira ke KMA pun dihentikan.
Tekad saya pun
semakin bulat untuk melakukan upaya dalam meningkatkan harkat dam martabat diri
pribadi dan keluarga. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan bersekolah menjadi
tentara ini sebagai sesuatu yang sia-sia. Buat saya ini merupakan kesempatan,
di samping ingin meringankan beban orang tua dan semacam untuk “menutup”
kekurangan yang saya rasakan karena tidak bisa mengikuti perjuangan secara
fisik. Dengan menjadi perwira, saya berharap bisa berbuat banyak untuk bangsa
dan negara.
Pada awal
pertumbuhan, saya akui, secarakejiwaan saya bisa dikatakan sebagai seorang yang
individualis. Namun, setelah saya amati, rupanya sifat yang rata-rata sama juga
bisa ditemui pada teman-teman yang diberangkatkan ke KMA. Agaknya, itu menjadi
salah satu persyaratan dalam pemilihan calon yang akan dikirim ke Negei
Belanda. Bukan soal individualisnya, tetapi lebih dilihat pada adanya
kepribadian dan pendirian yang kuat. Oleh karena, sepulangnya dari Belanda kami
harus tetap menjadi perwira Indonesia yang mempunyai pendidikan dari Negeri
Belanda, bukan berubah menjadi perwira Belanda berkulit Indonesia.
Semasa
bersekolah di KMA (1951 – 1955), sebagaimana layaknya seorang pemuda, saya
sudah memfokuskan niat untuk menjadi seorang perwira, dan ingin melakukan
segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Di tempat ini saya menemukan idola, yaitu
seorang perwira yang di mata saya mencerminkan sosok yang cerdas, pandai,
mempunyai sikap dan pendirian yang jelas, berbudi pekerti, ramah, tamah, dengan
penampilan tegar, rapi, sorot mat tajam-bersahabat, dan selalu menunjukkan
sifat sopan santun. Itulah pribadi seorag perwira sejati yang ada di benak
saya, meskipun pada praktiknya (sekembalinya saya dari Negeri Belanda) saya
sering mendapati perbedaan mencolok antara yang saya pelajari di sekolah dan
kenyataan, sebagai akibat adanya keterbatasan kita.
Hikmah yang bisa
saya petik dari pengalaman ini adalah bahwa seandainya waktu itu saya bimbang
atau ragu-ragu untuk mengambil kesempatan yang ada, barangkali cerita jalan
hidup saya akan lain. Terus terang, saya memang tipe orang yang mempunyai
kemauan keras, dalam arti, kalu sudah punya tekad, tak seorang pun dapat
menghalanginya. Tampaknya, justru orang dengan tipe seperti inilah yang
diprioritaskan dalam program beasiswa tersebut. Kesempatan memang selalu datang
pada waktu yang tidak pernah bisa diduga sebelumnya.
Kompetensi
dan Karakter: Rahasia Profesionalisme
Bertindak atau
bekerja secara profesional adalah tuntutan yang selalu ada dalam bidang apa
pun. Menjadi seorang profesional tidak disyaratkan oleh tingkat pendidikan
tertentu sebab profesionalisme tidak ditentukan oleh tingginya pendidikan yang
diperoleh seseorang, melainkan oleh kompetensi dan karakter yang dimilikinya,
yaitu usaha yang dilandasi dan dituntun oleh nilai-nilai keberanian, semangat,
dan pengabdian sejati. Mewujudkan usaha semacam ini tidaklah gampang sebab pada
dasarnya, manusia dikuasai oleh nafsu-nafsu rendah dan kelemahan-kelemahan
pribadi, yang bila tidak dituntun oleh kebenaran akan selalu cenderung takut,
tidak bersemangat dan tidak berdedikasi tinggi.
Dalam jagat
pewayangan, semua kesatria yang baik selalu digambarkan berusaha untuk menjadi
manusia yang berani, bersemangat dan berdedikasi tinggi. Akan tetapi,
kelemahan-kelemahan manusia juga tidak bisa lepas dari mereka sehingga
menggerogoti ketahanan pribadi mereka. Tokoh Batara Guru dan Kresna, misalnya,
selain menjadi tokoh anutan juga digambarkan kadang-kadang tidak berani melawan
kehendak anak-anak mereka untuk mendapatkan wahyu. Bhisma adalah manusia suci,
tetapi ia tidak memiliki keberanian, semangat, dan dedikasi untuk melarang para
Kurawa meneruskan niat jahat mereka menghancurkan pandawa.
Dalam dunia
bisnis ada yang mengatakan bahwa propesionalisme dapat dikatakan secara sederhana
sebagai mengerjakan pekerjaan secara tuntas. Benar, pekerjaan memang harus
diselesaikan secara tuntas. Namun, perlu digarisbawahi bahwa tuntas dapat
terwujud cukup dengan pendekatan kompetensi. Disinilah perlunya dipadukan
antara kompetensi dengan karakter. Bisnis juga tidak harus melulu berorientasi
pada mencari profit saja, tetapi seharusnya juga bermanfaat bagi lingkungan
(sesama, bangsa, dan negara). Melahirkan dan menyembunyikan uang di luar negeri
juga dapat disebut tuntas. Kalau tuntas hanya sebatas “tuntas” belakang, para
koruptorpun bisa dikatakan bekerja secara tuntas, yaitu memanfaatkan seluruh
hasil korupsinya untuk pribadinya tanpa sisa. Oleh karena itu, pemahaman saya
tentang profesionalisme adalah dipadukanya kompetensi dan karakter, yang bahkan
disempurnakan dengan tuntutan Ilahi untuk menunjukan adanya tanggung jawab
moral.
Ketahanan
pribadi adalah salah satu pokok pikiran yang pernah saya kembangkan. Kebetulan
saat itu saya berada disuatu posisi yang memungkinkan saya untuk leluasa mengembangkan
pemikiran tersebut, yakni sebagai ketua kelompok kerja ketahanan nasional. Ada
suatu peristiwa yang memacu saya untuk mewujudkan pemikiran tentang ketahanan
pribadi tersebut. Peristiwa ini berlangsung pada sekitar tahun 1980-an tatkala
saya mengadakan kunjungan ke Pulau Galang yang pada waktu itu dihuni oleh para boatmen, yaitu orang-orang perahu,
pelarian dari Vietnam yang berlabu secara liar dipantai sekitar Pulau Galang.
Keberadaan mereka disana semacam dilokalisir sebelum ada keputusan akan
dikembalikan ke Vietnam atau dikirim ke negara lain yang mau menampung mereka.
Dalam kunjungan
itu, disuatu barak saya melihat dan berdialog dengan sekelompok orang Vietnam
yang kurang lebih baru satu minggu berada disana. Meskipun demikian, mereka
telah mampu mengorganisir dirinya dengan rapi, tercermin dari betapa rapinya
barak yang mereka tinggali, menyerupai sebuah barak militer. Di sana saya juga
melihat ada sekelompok anak yang sedang diberi pelajaran oelh seorang guru
wanita yang masih muda. Satu hal yang inggin saya tekankan disini adalah bahwa
meski nasib mereka saat itu tidak jelas, sorot mata mereka begitu tajam
menunjukkan rasa percaya diri dan karakter yang kuat. Padalah sewaktu
meninggalkan Vietnam mereka tidak pernah tau akan kemana, selamat atau tidak,
atau akan adakah negara yang mau menerima mereka. Sorot mata mereka tidak
menunjukkan adanya rasa khawatr sedikit pun. Tentu, tidak tertutup kemungkinan
bahwa mereka merupakan hasil tempaan perjuangan rakyat Vietnam sehingga
orang-orang perahu sanggup bertahan tanpa patah semangat. Saya sempat berpikir,
inikah yang disebut dengan karakter, daya dorong yang tetcermin dari dalam,
sesuatu yang saat itu sedang kembangkan dengan istilah ketahanan pribadi.
Begitu
pentingnya pemahaman tentang karakter dalam diri manusia sehingga masalah ini
mendapatkan perhatian besar dalam sebagian karya-karya besar didunia, antara
lain dari Stephen Covey (Seven Habits of
Highly Effective People, Poor Richard’s Almanac), William Bennett (Book of Virtues, The Moral Compass),
Laura Schlesinger (I Cant’ Believe You
Did That: The Abdication of Courage, Character, and Compassion). Dalam
karya-karya tersebut, para pengarangnya mengingatkan bahwa pada beberapa hukum
dasar tentang peradaban manusia, kejujuran, keadilan,
keluasan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian, dan kedermawanan merupakan
kunci sukses untuk menjalani kehidupan ini. Character cannot be developed in
ease and quite. Only through experience of trial an suffering can the soul be
strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved (karakter
tidak dapat dibangun dengan mudah dan santai. Hanya melalui pengalaman yang
penuh percobaan dan pengorbanan hati dapat dikuatkan, visi dapat dijernihkan, ambisi
tersemangati, dan sukses teraih), demikian dikatakan Helen Keller, seorang
tokoh inspirasional yang komitmennya terhadap penyandang cacat ganda (bisu-tuli)
tak diragukan lagi.
Pada mulanya Helen Keller bukanlah
siapa-siapa. Ia hanya seorang gadis yan sejak usia 19 bulan menderita buta dan
tuli. Beruntunglah, Helen Keller bukan seorang yang mudah putus asa. Ia selalu
berlatih mengendalikan kemarahannya terhadap kecacatan yang dideritanya.
Kecacatan dua pancaindra bukan penghalang baginya untuk mengenal dunia
sekitarnya. Sebaliknya, ia justru mengoptimalkan kemampuan indra-indranya yang
lain. Energi yang muncul dari rasa amarah disalurkannya dalam bentuk tulisan,
kuliah, dan presentasi mengenai kondisi penderita cacat ganda seperti dirinya
sehingga ia pun mendapat perhatian dunia. Dengan tekadnya yang kuat serta
bantuan sahabat dan juga gurunya, Anne Sullivian, pada akhirnya ia berhasil
menjadi seorang wanita yang memiliki karakter sangat kuat, bahkan meraih gelar
akademik Ph.D pada usia 50 tahun.
Bila seorang Helen Keller yang
menyandang cacat ganda bisa menjadi seorang yang berkarakter, tentunya
orang-orang normal memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menjadi orang
berkarakter. Apalagi, bila mereka mendapat tempat khusus, semisal pendidikan
perwira. Inilah yang selalu saya impikan semasa menjabat sebagai komandan
resimen taruna di Magelang pada sekitar tahun 1970-an. Saya berkeyakinan bahwa
pendidikan perwira tidak mungkin berhasil bila tidak dibarengi dengan
character building dan pembentukan
perwira yang bagus. Seorang pewira itu tidak boleh bodoh, tetapi seorang
perwira yang pandai juga akan menjadi sumber malapetaka bila ternyata ia tidak
bisa diandalkan. Oleh karena itu, saya menganggap bahwa masalah pendidikan
perwira, pembentukan perwira, pembangunan karakter sangat diperlukan-sehingga
kepada para taruna saya tanamkan masalah duty-honor-country, yang merupakan
motto dari akademi West Point (tidak ada salahnya belajar dari pengalaman orang
lain). saya melihat bahwa bila kompetensi bisa dipadukan dengan karakter maka
seorang akan mampu menyelesaikan tugas dengan tuntas (to accomplish the
mission) atau yang biasa disebut professional.
Kompetensi bukanlah sesuatu yang
bersifat given atau terberi, melainkan sesuatu yang bisa diusahakan
penyemaiannya, antara lain dengan terus belajar, tumbuh dan berkembang atau
dengan kata lain tidak mudah menyerah, putus asa, juga tidak gampang merasa
puas. Orang-orang dengan kompetensi tinggi umumnya akan menjadi inspirasi bagi
orang lain. Sementara, karakter yang bersumber pada jati diri manusia adalah
sesuatu yang merupakan anugerah yang diberikan Yang Mahakuasa kepada setiap
manusia yang dilahirkan ke dunia. Dengan kata lain, kompetensi menunjukkan
tentang apa yang bisa dilakukan tiap orang, sedangkan karakter menunjukkan
seperti apakah seseorang itu. Keduanya sangatlah penting, tetapi karakter
sifatnya lebih fundamental, mendasar.
Perlunya Kontrol Diri
Yang Kuat
Kontrol diri
atau kendali diri adalah sikap mengendalikan pikiran dan tindakan agar tindakan
kita sesuai dengan norma-norma yang benar.
Penampilan seseorang secara utuh dapat
digambarkan sebagai suatu lingkaran yang di dalamnya terapat tiga lapisan.
Lapisan yang paling luar menunjukkan kepribadian (yang juga berisi identitas
dan temperamen), lapisan berikutnya adalah karakter, dan lapisan paling dalam
adalah jati diri.Dalam penampilan
sehari-sehari, yang tampak pada diri kita adalah kepribadian yang belum tentu
mencerminkan karakter kita seseorang bisa tampak menarik, ramah, dan sopan,
tetapi penampilan ini dapat direkayasa atau dibuat-buat. Sebagai contoh,seorang
salesman memang dilatih untuk memilikietika persoanl (personality ethics ),
tetapi ada kalanya ia menampilkan keasliannya yang jauh berbeda karena tidak
berhasil mengontrol dirinya sendiri.
Itulah sebabnya,
kita harus selalu mengupayakan dan meng intergrasikan karakter sebaik mungkin
agar dapat melandasi kepribadian kita, melandasi setiap sikap dan perilaku
kita. Sementara itu, lingkaran yang paling dalam ( jati diri ) akan memberi
warna dalam totalitas penampilan kita. Seorang yang berjati diri akan mampu
mengintegrasikan dengan baik kepribadian, karakter, dan jati dirinya dalam
ucapan dan tindakannya, termasuk dalam bahasa tubuhnya.
Kepribadian
Karakter
Jati
Diri
Kita tentu
ingat bahwa kita pernah mempunyai seorang atlet bulu tangkis yang andal, rudy
hartono, yang salah satu prestasinya yang sungguh mencengangkan dunia, adalah
meraih rekor delapan kali menjadi juara ALL England. Dunia layak kagum sebab,
bagai manapun, mempertahankan prestasi jelas lebih berat dari pada saat meraih
prestasi itu untuk pertama kalinya apalagi mempertahankannya hingga delapan
kali ditingkat internasional.
Jelas, dalam
ha ini, mengandalkan bakat saja tidak cukup. Di situ saja harus ada perjuangan,
tekad yang besar, kemauanyang keras, serta Dorongan dari orang lain. Rudy
hartono memahami itu semua. Bahkan kabarnya, semangat berkompetisi sudah tumbuh
sejak dirinya masih di bangku sekolah pada waktu itu, ia bercita-cita menjadi
juara dunia. Menurutnya, posisi juara itu tidak bisa di capai oleh sembarangan
orang, hanya ada satu orang. Kalau di sebut juara kedua baginya itu bukanlah
juara lagi karena istilah yang berlaku adalah champion atau winner untuk sang
juara dan runner up untuk juara keduanya.
Kesetiaan rudy
hartono pada perjuangan, tekad, dan kemauan adalah modal utamanya untuk meraih
sukses. Ia punya mental juara, yang tidak menyerah begitu saja dalam kondisi
dan situasi apa pun selain itu, semangatnya pun tidak pernah lemah meskipun
dirinya sudah menjadi juara kaliber dunia. Itulah contoh sebuah kontrol dari
yang kuat, yang seyioginya dimilki oleh setiap pribadi yang berkarakte.
Terus terang,
sepulang dari belanda kehidupan saya cenderung kebarat-baratan. Sedikit lagi
saya lengah dan kehilangan kontrol diri, barangkali saya sudah terjerumus pada hal-hal yang tidak lagi baik dan
selesailah hidup saya. Dalam perenungan pribadi dikemudian hari, saya
menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena saya terlalu ingin mengedepankan
rasio dan mengutamakan IQ serta ego yang sangat kuat- dan itu berlangsung
hingga usia saya memasuki 40 tahun. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa
seandainya ada yang bisa “ mengendalikan “ saya sejak awal atau ada yang bisa
mengerjakan kepada saya atau saya telah menemukan bacaan yang tepat, saya tidak
perlu menunggu hingga usia 40 tahun untuk berhenti mengedepankan IQ belaka.
Atas dasar
pengalaman itu maka saya merasa buku ini bisa menjadi semacam”alarm” pengingat
bahwa di era globalisasi ini batas-batas negara semakin tiada batas (borderless)
sehingga arus informasi dari satu negara ke negara semakin mudah dan tidak
mungkin di bendung. Infiltrasi budaya dari satu negara ke negaraa lain semakin
di permudah dengan adanya siaran televisi dari berbagai penjuru dunia selama 24
jam nonstop.saya membayangkan, betapa generasi muda saatini sebenarnya memiliki
tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan semasa saya muda dahulu. Dengan
demikian, kontrol diri yang harus dimiliki oleh generasi sekarang jauh lebih
besar. Itu tidak gampag.
Dalam uraian
helen keller di katakan bahwa karakter tidak bisa dibangun dengan mudah dan
santai. Saya mengalaminya sendiri, bagaimana saya harus jatuh bangun,
terpelset, menjadi menjadi orang yang agak sombong , hingga saya mendapat “
teguran dari atas”. Bentuk “teguran” itu adalah saya harus menghadapi dan
mengatasi perbedaan pendapat dengan alasan saya yang bersifat prinsipil,
sementara posisi saya harus menyatakan pendapat yang dilandasi pada keyakinan
sendiri. Untuk mendapatkan jawaban, saya melakukan hubungan langsung dengan
tuhan, saya seolah diberi petunjuk oleh-Nya ( saat itu saya belum mengenal cara
shalat tahajud) .
Saya belajar
mengambil suatu keputusan dan mencoba mempelajarinya masalah yang saya hadapi,
meskipun waktu itu teorinya pun belum saya mengerti bahwa kepemimpinan mliter
merupakan kombinasi yang potensial antara strategi dan karakter. Ibaratnya,
ketika saya harus memilih satu di antara dua, karakter atau karier, saya
bersyukur mempunyai keyakina untuk memilih
karakter,. Saya berani menolak perintah atasan yang meminta saya melakukan
sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan- meskipun akibatnya saya harus dicopot
dari jabatan, itulah pilihan saya, dan saya tahu bahwa pilihan itu
menunjukkan saya sebagai orang yang
ingin teguh memegang pendirian, mempertahankan sesuatu yang diyakini baik dan
benar.
Pengalaman ini
akhirnya saya posisikan sebagai salah satu bagian dari membangun karakter saya.
Sebagai mana ceritakan, sambil menunggu keputusan, segala fasilitas saya
diambil, saya dikucilkan dan tidak boleh ditemui orang. Saya di magelang,
sedangkanistri dan anak di bandung. Sewaktu minta izin ke bandung, saya
diizinkan dengan satu persyaratan; saya tidak boleh menceritakan masalah ini
kepada siapa pun. Saya penuhi permintaan itu meskipun dengan sanagat berat hati
karena bandung merupakan pusat kesenjatan saya, pusat artileri, dan tentu saja
banyak teman saya yang tahu bahwa saya sedang punya masalah, tetapi tidak tahu
duduk persoalan yang sebenarnya. Saat-saat itulah saya gunakan untuk merenung
dan melakukan kontemplasi.
Saya
benar-benar merasa sendirian. Sebagai seorang yang sedang dalam posisi
dikucilkan, tak heran bila orang lain pun merasa perlu berpikir dua-tiga kali
untuk menemui saya. Saya pasrah dan
hanya kepada tuhan lah saya berserah diri. Akan tetapi, saya tetap konsisten
menepati janji untuk tidak bicara pada orang lain sehingga tidak seorang pun
tahu permasalahan saya.
Dengan segala
kesabaran, saya jalani hidup saya hingga suatu saat saat bertemu dengan Mayor
Jendral Leo Lopulisayang saat itu menjabat sebagai Asisten Operasi KSAD,
sebagai orang yang kenal dekat dengan saya, ia menyesalkan mengapa saya tidak
pernah menyampaikan hal ini pada teman-teman atau kepadanya. Saya hanya katakan
bahwa saya tidak menceritakannya karena ingin menepati janji, pertemuan itu
terjadi sesaat setaelah masalah saya selesai disidangkan di staf umum AD
penyelesaiaan masalah tersebut di awali dengan memberi kesempatan kepada saya
untuk membuat surat kepada staf Angkatan Darat ( KSAD) dan KSAD lalu membentuk semacam dewan kehormatan perwira ( yang
terdiri atas sembilan orang, yaitu delapan orang jendral dan satu orang kolonel
sebagai sekretaris: pangkat saya waktu itu Letnan Kolonel ).
Tiga tahun lamanya saya teguh memegang janji untuk tidak
bicara pada siapa pun. Dalam hati saya merasa sedang di uji tentang apa yang
selalu saya ajarkan pada anak didik atau anak buah, yaitu apabila kita
mendapatkan perintah, meskipun tidak ada yang mengawasi, jalankanlah perintah
itu dengan sungguh-sungguh. Tidak mudah dipraktikkan, tetapi kenikmatanlah yang
akan kita peroleh karena kita yakin bahwa kebenaran dapat membawa hasil yang
baik.
Dalam salah satu
kuliah yang saya berikan di Lemhannas, salah satu peserta (direktur dari suatu
departemen) yang usianya sudah hampir 50 tahun mengatakan, “Pak, Bapak mengajar
begini apa tidak sebaiknya untuk murid-murid SMA dan anak-anak yang belum ‘jadi
orang’? Sebab,
kalau untuk orang yang sudah jadi, sudah terbentuk seperti kita ini, sudah
sulit untuk diubah.”
Spontan saya menjawab, “Pak, berubah
dalam rangka memperbaiki karakter ibarat Bapak berniat memperbaiki diri. Secara
teori, dikatakan bahwa yang sulit diubah adalah temperamen, sedangkan karakter
walau sulit masih bisa diubah asal kita mau. Sama halnya dengan kita berbuat
dosa dan minta ampun kepada Tuhan, lalu Tuhan mengabulkan permohonan kita.”
Konsepnya sama, terjadi perubahan dari
orang yang semula tidak baik menjadi orang yang baik. Inti yang ingin saya sampaikan
adalah selama kita masih hidup, kita masih bisa berubah menjadi lebih baik,
sepanjang kita mempunyai hasrat untuk berubah.
Itulah yang saya rasakan sebagai
refleksi empiris karena memang apa yang ingin saya tularkan adalah
bagian-bagian dari hidup saya yang bisa menjadi semacam “laboratorium” yang
sudah terbukti kebenarannya. Ini merupakan bagian dari transformasi tata nilai
yang saya harapkan dapat diwujudkan melalui buku ini. Saya tergolong orang yang
kehidupan beragamanya tidak terlalu menonjol, tetapi saya merasakan selama
hidup selalu ingat Tuhan, terlebih waktu Ibu memberikan wasiat “sing eling lan
aja dumeh” (selalu ingat pada Yang Mahakuasa dan jangan sampai lupa diri, di
mana pun, kapan pun, dan saat memangku kedudukan apa pun).
Hubungan vertikal saya jadi lebih baik,
di samping yang horizontal, dan saya bisa memadukan yang dalam istilah modern
saat ini IQ, EQ, dan SQ.
Semua orang, kalau punya niat, dapat
melakukan apa yang saya perbuat ini. Bahkan, kalau pada dasarnya orangnya sudah
baik dari semula, lingkungannya juga baik, orang tua baik, tidak perlu
mengalami jatuh bangun seperti saya, tetapi tinggal meningkatkan saja. Itulah
alasan utama mengapa buku ini berjudul Hasrat
untuk Berubah (The Willingness To Change): membangun karakter adalah proses
yang tak kunjung selesai.
Melakukan “Learning by
Doing” (Belajar sambil Mengerjakan)
Semua orang tentu pernah mengalami
kegagalan, tetapi semua orang juga tidak berharap mengalaminya. Dengan kata
lain, kegagalan adalah proses kehidupan, namun kehadirannya tidak pernah
diharapkan oleh siapa pun, termasuk saya. Sepulang dari sekolah militer di
Belanda, ssaya sempat bertugas di Manado dalam rangka operasi Permesta. Segala
pengetahuan teknik militer yang saya dapatkan dari Negeri Belanda, saya coba
praktikkan di lapangan dan memang banyak hal yang saya bisa lakukan sebagai
perwira artileri medan.
Sehari sebelum saya bertemu dengan Wakil
Kepala Staf Angkatan Darat, saya sempat dijamu di rumah Jenderal Gatot Subroto
untuk makan pagi bersama keluarganya. Pada kesempatan itulah, Jenderal Gatot
Subroto mengatakan, “Marno, gini lho kalau mau memelihara keluarga yang rukun
dan damai. Ini yang perlu kamu perhatikan.” Sifat kebapakan itulah yang sangat
saya ingat dari sosok yang arif dan bijaksana itu.
Setibanya di Malang pada waktu itu saya
ditempatkan di batalyon artileri Medan I ternyata ada satu Baterai B (Baterai
adalah satu unit bagian dari batalyon yang beranggotakan ± 100 orang) yang
sudah berangkat ke daerah operasi di Sulawesi Utara. Oleh karena suatu hal,
saya diperintahkan menyusul Baterai yang sedang bertugas pada operasi itu dan
menggantikan komandan Baterainya yang dipanggil pulang karena harus ikut
pendidikan. Saya pun lalu didaratkan di Bitung, sebelum akhirnya dibawa ke Langoan,
tempat Baterai yang akan saya gantikan komandannya. Selepas acara timbang
terima, saya langsung mengambil oper pimpinan Baterai. Saya ingat sekali, malam
itu juga saya mendapat perintah melakukan penembakan malam hari, sekaligus
perintah agar pagi hari berikutnya pindah ke Kawangkoan. Tugas saya laksanakan.
Pagi harinya, setiba di Kawangkoan,
kesan pertama saya, kota ini merupakan kota yang panjang. Saya mencari tempat
untuk menempatkan Baterai saya, berikut 6 pucuk meriam 25 founder. Tempat itu
saya temukan di ujung sebelah utara, di desa Talikuran. Di tempat itulah saya mendengar
ada seorang pendeta yang semalam terkena tembakan dari Langoan. Saya segera
tanggap, tidak salah lagi, itu adalah tembakan yang semalam dilancarkan oleh
Baterai saya. Dengan segera saya berpikir bahwa saya harus berbuat sesuatu yang
baik. Saya harus menunjukkan bahwa saya dating bukan untuk melawan rakyat,
tetapi melawan Permesta yang berontak. Saya kemudian meminta seorang kurir
untuk mengirim bunga serta ucapan permintaan maaf atas peristiwa yang menimpa
pendetaa tersebut, sekaligus mendoakannya agar segera sembuh.
Apa yang saya lakukan ini rupanya
didengar oleh masyarakat Kawangkoan dan sungguh di luar dugaan, suatu hari
Minggu oleh gereja Kawangkoan saya diminta member semacam sambutan. Dengan
senang hati saya menerima tawaran itu dan saya sampaikan apa yang betul-betul
saya anggap bisa disampaikan. Saya menceritakan kisah Nabi Ibrahim yang punya
keberanian menyatakan pada ayahnya bahwa sang ayah telah melakukan sesuatu yang
tidak benar serta diajak untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Nabi Ibrahim
bahkan menunjukkan jalan Tuhan sehingga ia sempat dibuang ke dalam api. Namun,
karena ada di jalan yang benar, ia diselamatkan oleh Tuhan. Cerita ini saya
gunakan sebagai kiasan bahwa di dalam hubungan keluarga pun bisa terjadi
berbeda pendapat, tetapi kita tidak perlu takut selama berada di jalan yang
lurus dan benar. Sasarannya, saya ingin mengatakan bahwa negara Republik
Indonesia perlu ditegakkan dan apa yang dilakukan Permesta saya anggap tidak
benar sehingga saya mengajak untuk tidak tergiur ikut-ikutan mengambil jalan
yang keliru.
Sebagai seorang komandan artileri yang
diperbantukan pada Resimen Tim Pertempuran (RTP) karena memiliki senjata berat
saya membawa meriam 25 founder, sebagai senjata unggulan untuk membatu RTP
melakukan operasi. Saya mendirikan P3 (Pusat Pimpinan Penembakan) sehingga
sering dikunjungi komandan resimen untuk mendiskusikan bantuan yang bisa saya
berikan sebagai seorang perwira artileri yang banyak diajar mengenai strategi,
taktik, dan kemahiran menembak jarak jauh. Saya mencoba mempraktikkan apa yang
saya pelajari di Negeri Belanda dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, satu hal
yang dapat saya pelajari sebagai seorang muda yang berpangkat Letnan Satu
adalah bagaimana saya bisa membina hubungan baik dengan pasukan melalui bintara
yang menjabat sebagai SMI = Sersan Mayor Instruktur (istilah yang dipakai di
Belanda adalah opper wacht meester).
Saya berhasil mendekati sang bintara pelatih, Sersan Mayor Ragil, dan lewat
ialah saya mencoba mengenali anak buah saya yang hampir 100 orang jumlahnya,
satu per satu. Dengan cara demikian, saya langsung bisa memikat hati anak buah.
Betapa saya sebagai orang muda dianggap mempunyai kepandaian. Kedekatan dengan
anak buah inilah sesungguhnya yang mengawali karier saya.
Kejadian lain yang juga saya alami di
Kawangkoan adalah upaya membungkam tembakan mortir lawan melalui perhitungan
analisis kawah atau trechter analysis.
Peristiwanya terjadi pada tanggal 17-19 Februari 1958, saat pasukan Permesta
mengadakan serangan umum 3 hari di seluruh wilayah Sulawesi Utara. Mereka
berusaha memotong jalur hubungan antara kota satu dan kota lainnya dengan cara
menggali lubang. Akibatnya, hubungan antara Kawangkoan dan Tomohon terputus
karena banyaknya lubang galian itu. Kami pun terpaksa membuat jembatan darurat
Tomohon dengan Manado, Manado dengan kota di luar Manado sebelum ke Bitung. Di
sela-sela membuat jembatan darurat itulah pasukan-pasukan kami diserang dari
segala jurusan dan tidak bisa saling membantu.
Di Kawangkoan, sambil menyerang, mereka
menjarah rumah-rumah penduduk. Saya lalu memerintahkan anak buah saya untuk memasang
meriam di perempatan jalan raya Talikuran dan di jalan raya besar Manado
Kawangkoan. Meriam saya hadapkan ke arah timur, arah datangnya serangan
Permesta. Untuk memompa semangat juang anak buah, saya pekikkan kata-kata,
“Kita tidak akan mundur, kalau perlu kita mati bersama meriam dalam pertempuran
ini.” Sementara kepada beberapa anggota dari bintara BODM (Bintara Onderdistik
Militer) yang terlihat sudah bersiap-siap mengungsi, saya keluarkan perintah,
“Kita tidak akan keluar dari daerah ini, mati kita lakukan bersama meriam.”
Untuk menunjukkan “keberanian komandan”,
saya lalu berdiri di tengah jalan di dekat meriam sambil berteriak, “Kita
bertahan di tempat ini.” Anak buah saya tentu saja menjadi tegar melihat
komandannya berdiri tegap tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut mati. Namun,
semua itu saya lakukan dengan perhitungan supercermat. Tembakan gencar dari
arah timur terlihat melewati atap-atap rumah sehingga dalam perhitungan saya,
lintasan tembakan itu agak di atas kepala dan tidak akan mengenai saya bila
berdiri. Meskipun demikian, dalam hati saya juga berpikir bahwa bukan tidak
mungkin ada peluru nyasar. Namun, di sini saya belajar bahwa seorang komandan
harus menunjukkan kepada anak buahnya, betapa pun ia mempunyai rasa takut, ia
harus bisa menunjukkan bahwa ia tidak mempunyai rasa takut dan bersedia berada
di depan. Itulah yang mungkin membuat hubungan saya dengan anak buah saya di
Baterai B menjadi begitu erat dan bersama-sama ingin melakukan yang terbaik.
Pertempuran selama tiga hari
berturut-turut menyebabkan persediaan amunisi makin menipis; tinggal untuk satu
hari pertempuran lagi. Untunglah, secara mendadak pada tanggal 19 Februari
1958, datang berita dari Manado yang mengatakan bahwa Panglima Operasi
memutuskan akan mengirim bantuan, termasuk amunisi untuk Kawangkoan.
Pada tanggal 19 Februari 1958 pagi,
terlihat berpuluh-puluh truk bergerak dari Manado. Akan tetapi, apa yang
sebenarnya terjadi? Konvoi itu sebetulnya hanya membawa pasukan yang sangat
kecil, bahkan Panglima Operasi (Kolonel Moersid) berjalan di depan layaknya
seorang komandan peleton, bukan sebagai seorang panglima. Sesampainya di desa
Kiawa, sebelum masuk desa Kawangkoan, Panglima Operasi ingin melakukan hubungan
radio dengan komando RTP di Kawangkoan, tetapi ia minta disambungkan dengan
seorang yang bisa berbahasa Sunda karena bahasa Jawa mudah disadap oleh
Permesta. Kebetulan yang bisa berbahasa Sunda hanya saya. Pesan rahasia yang
dismapaikan adalah, “Tahan sampai besok dan besok saya akan masuk dengan
membawa amunisi yang diperlukan.” Pesan tidak bocor ke telinga musuh sehingga
ketika esok harinya pasukan datang, Permesta tetap mengira bahwa panglima dari
Manado sengaja datang membawa bantuan pasukan yang besar.
Sehari menjelang peristiwa tersebut,
saya mengalami kejadian yang sedikit ganjil. Sore itu, ketika sedang bersantai
(karena pertempuran biasa terjadi di pagi hari), tiba-tiba saya mendapat
laporan bahwa ada seorang anak buah yang kesurupan. Dalam keadaan kesurupan itu ia mengatakan ingin bertemu dengan komandan.
Berhubung saya sedang tidak berada di tempat, ia dihadapi oleh wakil saya,
Letnan Dua Suparman. Ketika Suparman mendatangi orang itu dan mengajaknya
bersalaman, Suparman hamper terpental karena tangannya seperti terkena setrum
aliran tegangan tinggi. Mendengar laporan tersebut, mau tak mau saya harus
menunjukkan bahwa saya berani menghadapi anak buah yang kesurupan itu. Ketika
sudah bertemu dengannya, saya langsung memegang tangannya. Tidak terjadi
apa-apa. Orang itu lalu berbicara dalam bahasa daerah yang tidak saya kenal.
Untunglah, di situ ada orang yang bisa menangkap apa yang dikatakannya dan
menerjemahkannya untuk saya. Dikatakan bahwa Sulawesi Utara bisa dipertahankan
jika kampong Talikuran tidak jatuh ke tangan musuh, Kawangkoan pun tidak jatuh
ke tangan musuh. Kalau Kawangkoan tidak jatuh ke tangan musuh, Minahasa tidak
akan jatuh ke tangan musuh. Kalau Minahasa tidak jatuh ke tangan musuh,
Sulawesi Utara akan selamat.
Orang itu lalu menepuk-nepuk
bahunya, mengisyaratkan akan terjaditerhadap bahu-bahu adalah tempat pangkat.
Tentu isyarat ini ada kaitannya dengan suatu kehormatan. Saya langsung
melaporkan peristiwa itu kepada komandan resimen dan ditanggapi secara serius.
Saya dan Asisten Teritorial segera ditugaskan untuk menemui Hukum Besar (Camat)
untuk menyampaikan pesan yang dikirim oleh anak buah yang kesurupan itu. Kalau
dipikir-pikir, lucu juga sebenarnya. Di daerah Kawangkoan, yang mayoritas
penduduknya beragama Kristen, masih kental kepercayaan semacam itu. Bahkan Ibu
Sumampouw, Hukum Besar, langsung merencanakan untuk pergi ke makam salah satu
keturunan Diponegoro yang dimakamkan di sana untuk mengambil tanaman dan
menanamnya di pinggir kota. Maksudnya hendak memagari kota. Kami pun mengikuti
apa yang dikatakan Ibu Hukum Besar. Saya, Asisten Teritorial, pasukan RTP, dan
tentu saja tidak ketinggalan Ibu Hukum Besar, mengunjungi makam yang dimaksud.
Kami memotong sejumlah tanaman dan membaca doa kata orang “pintar” yang ada di
situ, ia mendengarkan para leluhur melihat apa yang sedang kami lakukan.
Kami pun lantas pergi ke arah utara,
menuju batas desa Kiawa-pintu masuk ke Kawangkoan dari kota Tomoho-untuk
menanam kembali tanaman yang tadi kami bawa dari makam. Penanaman dilakukan
pada satu sisi jalan, kiri dan kanan jalan, lalu ditarik garis dari sisi kiri
ke sis kanan sehingga menyerupai pagar. Hal yang sama juga kami lakukan di
pintu masuk sebelah timur yang menuju Kinali, pintu masuk sebelah selatan yang
menuju ke Tompaso, dan pintu masuk sebelah barat yang menuju ke Kayuui Amurang.
Apa yang terjadi? Ternyata ketika terjadi serangan, kami berhasil menahan dan
menggagalkanserangan itu. Mereka sudah masuk ke rumah-rumah penduduk di pinggir
kota Kawangkoan, tetapi tidak mampu merebut kota Kawangkoan, meskipun kekuatan
merea begitu besar. Di sisi lain, saya dan pasukan sudah bersiap siaga untuk
melakukan pertempuran dengan tekad tidak meninggalkan tempat.
Pagi harinya, kedatangan Panglima
Operasi disambut gegap gempita oleh seluruh rakyat. Tiba-tiba ada tembakan
mortir yang diarahkan ke dalam kota Kawangkoan. Begitu tiba di tempat jatuhnya
mortir itu, dari beberapa kawah yang ada, saya coba membuat analisis kawah,
yaitu perhitungan dengan melihat kedalaman, sudut datangnya, melakukan
interpolasi, dan sebagainya. Dari hasil analisis itulah, saya mendapat gambaran
posisi asal tembakan dan segera saya perintahkan anak buah untuk membalas
tembakan dan segera saya perintahkan anak buah untuk membalas tembakan ke
arah yang saya perkirakan. Tembakan
mortir pun berhenti dan kami tidak lagi diganggu oleh gerombolan pemberontak
itu.
Percaya-tidak percaya, apa yang
pernah dikatakan oleh anak buah saya yang kesurupan itu benar-benar terjadi.
Dengan berhasilnya mempertahankan daerah Talikuran (sebagai markas artileri),
Kawangkoan sebagai markas komando RTP pun bisa dipertahankan, Minahasa bisa
dipertahankan, dan Sulawesi Utara bisa diselamatkan. Apa yang sebetulnya
terjadi? Pasuka Permesta yang mengepung Kawangkoan memutuskan mundur karena
datangnya bala bantuan dari Manado. Komunikasi merek akurang baik dan RTP
mengambil inisiatif untuk mengejar. Terjadilah apa yang disebut kipmoment
(titik balik strategi; pasukan yang semula mengepung dan menyerang sekarang
balik dikejar).
Tidak lama kemudian saya kembali ke
pangkalan di Malang untuk beberapa waktu lamanya, sebelum akhirnya pada tahun
1959 ditugaskan kembali-tetapi kali ini ditempatkan di Tondano (kota
kabupaten). Di sini, sesuai situasi saya melakukan suatu operasi teritorial
untuk marginal lebih dekat kondisi kota Tondano. Salah satu kegiatan yang saya
lakukan adalah berkenaan dengan beberapa keluarga yang punya hubungan keluarga
dengan anggota-anggota Permesta. Hal ini perlu saya lakukan sebagai pendekatan
kepada anak-anak mua setempat. Saya adakan beberapa acara, misalnya mengenalkan
mereka dengan meriam yang saya bawa (meriam 76cm), bahkan sesekali saya adakan “joyride”
(suatu acara santai untukmemperkenalkan cara menembak meriam yang bisa
dilakukan oleh pengunjung/murid-murid sekolah) dengan cara member kesempatan
pada mereka untuk menembakkan meriam dengan peluru hampa. Sebagai anak muda,
tentu banyak di antara mereka yang tertarik dan bertekad untuk mendaftar
menjadi perwira artileri selepas SMA.
Ada cerita yang terkait engan soal
meriam. Selain meriam 76 yang saya bawa, Kodam operasi 13 Merdeka iperkuat oleh
Baterai RL (Rocket Launcher) 32 dari Manado yang memiliki meriam roket yang
bila ditembakkan akan menghancurleburkan seluas 400m x 400m dalam satu kali
tembakan.
Dalam suatu operasi pengejaran,
pasukan gabungan RTP mengambil posisi di sebelah utara bukit Soputan di sekitar
Tomohon, sedangkan sasaran-gerombolan Permesta berada di puncak bukit dan di
belakang bukit di daerah Remboken. Di antara mereka antara lain terdapat Alex
Kawilarang dan lain-lain. kalau kami mengejar mereka, bisa dipastikan mereka
akan lebih unggul mengingat posisi musuh ada di atas. Oleh, Karena itu, kepada
komandan RTP saya sarankan untuk menggunakan daerah sekitar Tomohon sebagai
posisi kami dan memanfaatkan kondisi topografi yang ada. Perhitungan saya,
kondisi topografi sangat baik untuk membuat tembakan lintasan curam dan akan
jatuh di seberang bukit dengan baik. Namun, meriam 76 tidak mempunyai kemampuan
yang terlalu dahsyat untuk memorakporandakan pertahanan mereka sehingga kurang
dapat diandalkan untuk membantu membuka jalan bagi pasukan RTP.
Pada penugasan kali ini, selain
sebagai komandan Baterai, saya juga merangkap sebagai koordinator artileri
Kodam. Tanggung jawab saya cukup besar. Malam hari saya berpikir keras, mencari
taktik yang jitu untuk mematahkan pertahanan musuh. Pagi harinya, saya bangun
pagi-pagi dan segera mengetik surat yang saya tujukan kepada panglima. Isisnya,
melaporkan bahwa pasukan tidak mungkin maju bila hanya mengandalkan meriam 76.
Saya katakana bahwa bila demikian kondisinya, tugas mengambil alih dan
mengatasi pertahanan musuh tidak akan berhasil. Lalu saya sarankan kepada
panglima agar bersedia memerintahkan pasukan Baterai RL 32 yang berada di
Manado membantu operasi dengan meriam roket lonser yang mereka miliki.
Saya melapor
kepada komandan RTP Lotkol Sampoerno tentang surat itu. Tak disangka, sang
komandan justru menawarkan diri membawa surat itu untuk langsung diserahkan
kepada panglima. Bayangkan, saya sebagai seorang Kapten (komandan Baterai),Menulis
suart kepada seorang panglima ( Kolonel Soenandar Priyo Soedarmo) dan dibawa
sendiri oleh komandan RTP (Letnan Kolonel Sampoerno). Padahal perjalanan yang
harus ditempuh tidaklah mudah, selain kondisi jalan yang belum memadai, juga
harus menghadapai hadangan permesta.
Menurut cerita yang saya dengar
kemudian, saat surat saya sampai ke tangan penglima, panglima beserta staf
sedang rapat dan belum berhasil membuat suatu keputusan apa pun. Surat saya
lalu dibawa masuk ke dalam kamar, dan baru menjelang malam panglima
memeruntahkan komandan RTP untuk memnbantu dengan roket lonser pasukan laras
32. Apa yang dilakukan panglima di dalam kamar ? kabaranya, di dalam kamar itu
panglima seolah-olah sedang berbicara dengan Soekarno, “ Bung Karno. Mari
dosanya kita tanggung bersama. Saya akan perintahkan meriam roket lonser
pasukan laras 32 untuk membantu operasi kita di Tomohon”.
Disini saya ingat pelajaran saat di KMA,
yaitu stlain pipe, roket lonser yang
begitu keras bunyinya. Dalam pelajaran itu dikatakan bahwa stalin pipe pernah digunakan pasukan Rusia saat menembaki pasukan
Jerman. Kekuatan stalin pipe ini juga
saya rasakan pada saat roket lonser melakukan penembakan, mendengar desingan
tembakan roket lonser bulu roma saya berdiri, padahal saya tidak tahu berapa
besar korban di pihak musuh dan ke mana perginya sisa pasukan mereka : yang
jelas, sejak itu pasukan musuh mengundurkan diri dari puncak gunung sehingga
pasukan kami bisa maju dan melakukan pengejaran. Tidak berapa lama terdengar
berita intelijen bahwa dengan pihak Permesta. Bahkan dikabarkan pula ada
seorang ibu, Ibu Ari Supit, yang sedang sakit dan minta dibantu untuk dirawat
di Tomohon. Permintaan itu pun saya penuhi, meskipun ia adalah istri dari
kolonel artileri permesta ( Ari Supit).
Rupanya, dari sinilah hubungan antara
intelijen dan permesta makin intens dan berakhir dengan kembalinya permesta ke
pangkuan ibu pertiwi. Pada saat penerimaan kembali anggota permesta-yang juga
dihadiri oleh Jenderal Nasution – saya bertemu dengan Ari Supit yang ternyata
adalah seorang meneer Permesta.
Dengan rasa hormat ia saya jamu di mesa saya di Tondano. Inilah pertemuan
antara dua orang artileris yang pernah saling berseberangan. Akan tetapi, yang
ada saat itu adalah sebuah jamuan yang penuh kehangatan.
Saya bersyukur, dalam menjalankan tugas,
selain menguasai kemampuan teknis militer, saya juga menguasai operasi
teritorial. Namun, yang tidak kalah penting adalah saya rupanya berhasil
merebut hati masyarakat Kawangkoan dan Tondono— sesuatu yang tidak pernah
diajarkan di KMA, tetapi saya pelajari sendiri sembari bertugas. Dalam hal ini,
pesan Jenderal Gatot Soebroto agar saya “membuka mata hati” terjawab sudah.
Bahwa seorang perwira harus bisa menjalani perannya. Dalam berperang, di
samping memahami operasi teritorial sesuai dengan ajaran-ajaran perang gerilya,
suatu satuan lawan gerilya dalam menghadapi gerilya tidak mungkin bisa hidup di
suatu daerah tanpa bantuan rakyat setempat.
Pengalaman ini di satu pihak menjadi
modal penambah keyakinan saya pada diri sendiri, meskipun di pihak lain saya
mash belum siap melepaskan ego yang masih sangat tinggi. Saya pun lalu di
tugaskan kembali di Cimahi ( 1968-1969) setelah ditugaskan sebagai Komandan
Batalyon di Medan ( 1967) yang merupakan pusat kesenjataan artileri. Tahun 1970
saya mendapat tugas di Magelang, yang dengan segala usaha, akhirnya mendapat
jabatan yang saya idam-idamkan, yang berhubungan langsung dengan taruna-
membantu Gubernur AKABRI sebagai seorang komandan resimen taruna.
Pangkat saya masih kapten ketika sering
mengajar di Akademi Militer. Oleh pihak Akademi Militer sebenarnya saya sudah
diminta untuk menjadi pengajar tetap, tetapi dengan “ketus” saya katakan bahwa
saya memang sangat ingin berada di Akademi Militer, tetapi setelah pangkat saya
minimal Letnan Kolonel dan kedudukannya langsung bertanggung jawab pada taruna.
Apa yang saya inginkan itu akhirnya berhasil saya capai, meskipun kemudian
harus diwarnai dengan suatu kejadian yang sangat menyentak, yang menyebabkan
saya harus diberhentikan dari jabatan
untuk dipensiun dini. Namun, peristiwa itu tidak begitu saja merontokkan
semangat saya yang sedang membara untuk menularkan apa yang saya ketahui
tentang bagaimana seorang perwira itu seharusnya (dan disini saya sebetulnya
mulai berpikir tentang masalah character
building). Saya berkeyakinan bahwa pendidikan perwira itu tidak mungkin
kalau tidak dibarengi dengan character
building dan pembentukan perwira yang bagus.
Percaya
pada Takdir dan Berserah Diri pada Tuhan
Mengenal
diri sendiri merupakan fondasi keberhasilan seseorang untuk mengembangkan
karakternya. Oleh karena, dengan mengenal dan mengakui kekuatan, keunggulan,
maupun kelemahan pribadi, seseorang akan mudah menerima orang lain apa adanya
dan mengakui bahwa setiap individu terlahir dengan keunikan masing-masing.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sejak lahir setiap manusia sudah dibekali dengan
keunikan sebagai pribadi, yaitu bahwa manusia itu sendiri dan mandiri karena
masing-masing dibekali budi sendiri sehingga tahu apa yang dilakukannya dan
mengapa melakukannya. Sebagai pribadi yang mandiri, berarti manusia mempunyai
kemerdekaan untuk menentukan dan memutuskan sendiri apa yang akan diperbuat.
Itulah keunggulan manusia dibandingkan dengan ciptaan tuhan yang lain, yang
dengan berbekal kekuatan itu manusia akan selalu berkembang dan ia tidak pernah
berhenti dalam ke –kini-anya.
Manusia
sebagai wujud dalam keberadaannya selalu mencari jalan untuk mengaktualisasikan
diri secara terus-menerus dan tidak sekedar dihanyutkan oleh realitas
sekitanya. Kecenderungan manusia untuk terus-menerus berubah merupakan proses
“menjadi”, sebagai proses terhadap pembentukan kepribadian, pembentukan
kepribadian yang pada dasarnya merupakan proses pembentukan diri pribadi, tidak
pernah bersifat terminal dan final. Sebagai ilustrasi, seseorang yang secara
sadar ingin membentuk identitas pribadi baru dengan cara meninggalkan masa
lalunya dan berusaha tampil dengan penampilan, sikap, dan perilaku baru, bila
diamati secara saksama dan mendalam, tetap saja orang itu tidak dapat
menghilangkan seluruh jejak-jejak masa lalunya. Misalnya, hidung seseorang bisa
dibuat lebih mancung, dagu dibuat lebih lancip, dan rambut ditata lebih trendi,
tetapi begitu ia berbicara yang keluar adalah suara aslinya atau ketika ia
terkejut kelatahan yang muncul adalah kelatahan dirinya “yang lama”. Kenyataan
ini membuktikan bahwa proses pembentukan diri pribadi bukanlah sebuah proses
yang parsial, melainkan proses yang melibatkan manusia secara menyeluruh dalam rentang
kesejahteraannya, termasuk seluruh pengolahan pengalamannya sebagai suatu
proses interaksi.
Sesuai
dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita mengakui bahwa manusia itu ada
karena kehendak Tuhan Sang Pencipta, manusia pada hakikatnya adalah makhluk
sosial, yang saling membutuhkan. Manusia adalah bagian dari totalitas umat
manusia sehingga secara sadar manusia sebagai pribadi hanya dapat berkembang
dalam keatuannya dengan sesamanya. Manusia sebagai pribadi tidak dapat hidup
dan menghayati keberadaannya secara wajar, kecuali jika hidup berdampingan
dengan sesama. Itulah berang kali yang mendasari lahirnya kepercayaan manusia
tentang konsep lahir, jodoh, derajat, rezeki, dan mati yang sudah diatur oleh
Sang Pencipta, atau dikenal dengan istilah takdir.
Takdir
yang menyebabkan sesorang ada, takdir jugalah yang mempertemukan satu orang
dengan orang lain—termasuk dalam hal ini soal jodoh, takdir yang menentukan
hidup seseorang, dan takdir pula yang mencabut kembali kehidupan seseorang dari
muka bumi. Sebagai contoh, hingga saat ini saya tidak pernah mampu memecahkan
rahasia ilahi mengapa misalnya, ketika usia saya sekitar 27 tahun. Padahal,
sebagai seorang pemuda yang memiliki pendidikan lumayan, masa muda saya sangat
penuh warna dengan pergaulan yang sangat
luas. Bahkan, lima tahun setelah pertemuan pertama, saya hingga saat itu.
Dialah penyempurna kehidupan saya karena selain sebagai istri, ia juga menjadi
pendamping teman, dan penasihat saya.
Mengingat
kembali peristiwa-peristiwa yang sudah saya alami, kadang-kadang saya merasa
bahwa seolah-olah hidup ini adalah rangkaian dari kebetulan-kebetulan. Akan
tetapi, bila direnungkan lebih dalam, sebenarnya yang paling mengagumkan dari
rangkaian kebtulan itu adalah Sang Maha Perancang yang telah mengatur semuanya
dengan sangat sempurna. Semua ini adalah jalan Tuhan ada kalanya saya merenung,
kenapa saya dulu harus ditugaskan ke Sulawesi Utara ? kenapa saya harus bertemu
dengan gadis yang usianya terpaut jauh dari saya ? kenapa harus ia yang menjadi
istri saya ? jawaban dari pertanyaan tersebut tidak serta merta dibeberkan,
melainkan sedikit demi sedikit dibuka lewat perjalanan hidup.
Siapa
yang menyangka misalnya, dalam soal meggunakan hati nurani, saya justru banyak
belajar dari istri saya yang ternyata mempunyai kekuatan menngunakan hati
nuraninya. Bermodalkan keceerdasan dalam berpikir dan kekuatan pribadi yang
dimilkinya. Ia bukan hanya memerhatikan saya, tetapi juga gemar memerhatikan
dan membantu orang lain.
Sebagai
contoh, pada waktu mendengar akan ada suatu kelompok paduan suara anak muda “
Militia Christy” dari Tondono datang ke Jakarta untuk mnegikuti kompetisi
paduan suara di Bandung (tahun 2005), istri saya spontan menyilangkan mereka
tinggal di rumah kami. Ia begitu bangga pada anak-anak muda ini. Sebagian
besar dari mereka bukan berasal dari
keluarga berada, tetapi dengan tekad yang membara, mereka berusaha bisa ikut
kompetisi itu. Mereka belum pernah ke Jakarta dan uang saku yang merka miliki
pun sangat tidak mencukupi untuk bisa tinggal lebih dari sepuluh hari di
Jakarta, sampai-sampai mereka berikhtiar untuk makan dengan pola : pagi
Supermie, siang Indomie malam Sarimi. Dalam rangka penghematan oleh karena itu,
mereka sangat beryukur karena ada keluarga yang mau menampung mereka selama di
Jakarta. Betapa saya terharu dan bangga menerima mereka. Terlebih lagi setelah
mengetahui bahwa mereka berangkat tanpa dukungan sponsor mana pun. Untuk itu,
agar rencana ini tidak gagal, mereka telah berusaha mengumpulkan uang sendiri
selama satu tahun!
Saya
sungguh bangga bisa bertemu denga generasi muda yang memilki tekad kuat seperti
ini. Bukan hanya tekad, tetapi juga sudah menyadari bahwa masa depan ada di
tangan mereka sendiri. Mereka merancangnya sendiri, diwujudkan dalam sebuah
perencanaan yang sangat matang selama satu tahun. Dalam hal ini, keharuan saya
adalah meraka belum pernah membaca buku-buku saya, tetapi mereka telah
mempraktikkanya, khususnya tentang “ merancang nasib sendiri”, salah satu tema
yang menjadi isi buku saya. Akhirnya, rasa syukur dan bangga saya cetuskan
dalam sebuah diskusi tentang jati diri dan karakter.
Disinilah paling tidak kita bisa
membuktikan bahwa lima hal yang tidak bisa lepas dari takdir adalah masalah
lahir, derajat, jodoh, rezeki, dan mati. K.H.M. Quraish Shihab, dalam suatu pertemuan
dengan teman-temanan di Yayasan Jati Diri Bangsa mangatakan bahwa takdir adalah
suatu pilihan dan kita bisa memilih takdir itu. Sebagai contoh,kalu kita mau
berlindung, ada beberapa pilihan tiang. Ada tiang yang rapuh, ting yang kuat,
atau pohon yang rindang. Apabila pilihan jatuh pada tiang yang rapuh, lalu
tiang itu patah dan kita bertimpa oleh segala yang ada di atas tiang itu,
berarti kita telah memilih sendiri takdir kita.
Dari
ilustrrasi tersebut, kita belajar bahwa beda antara manusia dan hewan terletak
pada danya kebebasan untuk memilih, termasuk memilih takdir. Diskusi pun lalu
berkembang dengan adanya pemikiran yang mengatakan bahwa takdir bisa berubah
dengan kekuatan do’a. contoh yang diangkat adalah cerita Nabi Yunus yang setelah
keluar dari perut ikan hiu, akhirnya terdampar dan pergi kesuatu desa bernama
desa Niniwe, desa yang sebenarnya akan dibinasakan oleh Tuhan.akan tetapi,
setelah Yunus meminta agar orang-orang bertobatda kembali pada jalan Tuhan, dan
berkat doa yang intensif dari orang desa Niniwe Tuhan mengabulkan doa itu,
sehingga itu tidak jadi dibinasakan.
Pelajaran
yang bisa saya ambil disini adalah bahwa dalam hidup ini, kalu kita punya
kiblat yang jelas, berarti kita tahu apa yang kita inginkanseperti kata Helen
Keller, apabila kita ingin menempa diri untuk membentuk karakter secara sadar,
jiwa kita akan dikuatkan, visi kita akan dijernihkan,ambisi atau cita – cita
kita akan terinspirasi, dan sukses akan kita raih. Betapa karakter merupakan
kunci utama untuk menjalani hidup pada umumnya, dan karir pada khususnya. Jika
kita bicara tentang sukses sejati, hidup bermakna dan mendapat kebahagiaan ini
dapat kita raih kalau secara sadar kita mau membangun karakter,
menumbuhkembangkan jati diri karena jati diri adalah pemberian dari Tuhan Yng
melekat, yang mengandung sifat – sifat ilahi.
Dengan
demikian, penampilan yang berjati diri bisa disebut penampilan yang “pasti
benar” karena bersumber dari sifat – sifat ilahi yang kita tumbuhkembangkan.
Itulah sebabnya bila hati nurani sudah berbicara, bisa dipastikan bahwa itu
adalah jawaban murni yang dapat kita rasakan. Meskipun demikian,kita tetap
harus berhati –hati saat merenung karena adakalanya setan berusaha menggangu.
Dalam
menjalani hidup, seharusnyalah kita menempa dan membangun karakter kita karena
karakter akan memperkuat jiwa, menjernihkan visi dan rencan yang nyata. Tentu
saja, kita harus istikomah. Dalam istilah sederhana,saya bersyukur semua yang
saya ceritakan berdasarkan pada hal – hal yng byata dan semoga saya dapat menjalani
dengan konsisten dan mendapatkan ridho –Nya. Dan berdasarkan pada ajaran agama
mudah – mudahan kalau suatu saat saya dipangil Tuhan, saya benar – banar dalam
keadaan khusnul khotimah.
Takdir
bagi sebagian orang sebagai sesuatu yang berifat mutlak dan baku. Mengatakan
“sudah suratan takdir” seolah merupakan permakluman bahwa dirinya tak lagi
dapat berbuat lebih baik. Padahal, bagi mereka yang berpikir progresif, takdir
bukanlah harga mati. Ada firman Allah yang mengatakan bahwa “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan (nasib) suatu kaum (bangsa) sehingga mereka mengubah apa yang ada pada
diri mereka” {Q.S. Al-Rad (13) Ayat 1}. Bila dihayati, maknanya kurang
lebih mengatakan bahwa nasib kita memang bergantung pada proses yang berawal
dari pemkiran kita, sedangkan pemikiran mendapat umpan/pengarahan dari hati
nurani sehingga pemikiran yang bersih
dan benar hanya diperoleh jika hati kita terbuka dan bersih.
Dengan
kata lain, “memperbaiki atau mengubah nasib” ternyata bukanlah sesuatu yang
mustahil, sejauh sesuai dengan izin (system yang ditetapkan Tuhan).
Implementasinya, pemikiran kita akan menghasilkan tindakan → (menghasilkan)
kebiasaan → (menghasilkan) watak/karakter → (menghasilkan) nasib. Dengan
disertai doa, semoga Tuhan menjadikan nasib yang kita rancang itu danmenentukan
sebagai takdir. Akan tetapi, untuk dapat memperbaiki nasib, salah satu hal yang
wajib kita lakukan adalah terlebih dulu memperbaiki kehidupan beragama. Kita luruskan
kehidupan beragama kita dengan menjalankan sikap dan perilaku sesuai dengan
ajaran agama. Kita bersyukur bahwa Tuhan Maha Esa Pengasih, Maha Penyayang, dan
Maha Pengampun sehingga setiap kali manusia salah melangkah, Tuhan selalu
memberi peringatan sesuatu yang dikehendaki-Nya.
Tuhan
juga pernah menegur saya dan itu menjadi semacam turning point (titik yang mengubah arah) dalam kehidupan saya.
Teguran ini adalah seolah merupakan ujian sejauh mana saya bisa memegang
prinsip hidup, meskipun taruhannya saat itu sangat berat: diberhentikan dari
jabatan, bahkan masa pension saya dipercepat. Apabila pada waktu itu saya
menganggap teguran tersebut sebagai takdir yang bersifat mutlak dan tak mungkin
diubah, barang kali sejarah karier saya pun selesai saat ini juga.
Namun,
keyakinan saya pada saat itu adalah bahwa Tuhan Maha tahu dan semasamasa
percobaan itu saya melakukan komunikasi dengan Tuhan melalui perenungan atau
kontemplasi. Hasilnya, keputusan pensiunan sini yang sudah keluar, ternyata
diralat dan saya mendapatkan rehabilitasi sehingga dapat kembali bertugas.
Berkat
pengalaman yang cukup pahit itulah saya lalu mencoba untuk bangkit dari
keterpurukan dan terus berusaha mengingatkan harkat dan martabat diri pribadi
dan keluarga. pengalaman saya semakin menegaskan bahwa seburuk apa pun
pengalaman hidup yang kita temui, bukan berarti bahwa Tuhan sedang
menjerumuskan kita kedalam kesengsaraan, melainkan sedang memberi teguran dan
pelajaran kepada umat-nya. apa yang akan kita terima berikutnya bergantung pada
bagaimana kita menanggapi teguran tersebut: tidak mengindahkan atau malah
menerimanya dengan lapang dada dan dilanjutkan dengan sebuah pertobatan.
Jika
Tuhan memberi jalan untuk pengampunan melalui tobat, berarti orang bisa berubah
dengan tobat (nasuha), yang tidak
mempunyai batasan usia selama manusia hidup.
Turning
Point yang mengantar saya bertugas di Akademi Militer mendorong saya untuk
mulai berpikir tentang diperlakukannya chacaracter building dan bagaimana
mentransformasi tata nilai ke lingkungan kita. Menurut teori Kelly Poulos, seorang internasional management consultant
& performance coach, ada empat prinsip yang harus dimiliki seseorang
pemimpin: compelling desire
(cita-cita membara atau memfokuskan keinginan untuk sukses), solid belief (meyakini kebenaran atas
yang dipercayai, atau berkeyakinan kuat terhadap apa yang dilakukan), effective action (bertindak secara
efektif), dan iron will (semangat
baja dalam menghadapi rintangan).
Saya
bersyukur dan beruntung karena tanpa saya sadari,rupanya selama ini teori yang
diajarkan Kelly Poulos telah saya jalani dengan sungguh-sungguh. Saya mencoba
secara konsisten menerapkan hal-hal itu sehingga secara lambat laun menjadi
pribadi saya. Dengan adanya iron will,
saya menumbuhkembangkan pemikiran tentang bagaimana melalui character building kita bisa melakukan
sesuatu yang baik, yang ternyata uji cobanya justru melalui pengalaman hidup
saya sendiri.
Semangat
inilah yang kemudian saya lanjutkan di Lemhannas saatmenjadi direktur
pendidikan, meskipun penugasan di Lemhannas tidak saya cita-citakan. Akan
tetapi, akhirnya saya bisa memetik hikmahnya. Saya bisa melakukan sesuatu yang
saya anggap membuat hidup saya betul-betul bisa diabadikan pada hari depan bangsa,
yang dengan persutujuan Gubernur Lemhannas, mengodifikasi hal-hal yang
berkaitan dengan bidang pendidikan yang sudah dilakukan oleh Lemhannas dari
tahun 1965─1980. Itulah sebabnya, keterkaitan saya pada Lemhannas tidak saja
karena alasan tentang masa tugas, tapi juga ternyata karena naluri yang sudah
saya kembangkan sejak masih tugas di
Magelang, yakni semangat atau keinginan untuk selalu menularkan sesuatu yang
saya yakini sebagai kebenaran, bahwa seorang perwira itu harus memadukan antara
karakter dan kompetensi untuk bisa melaksanakan tugas secara tuntas. Tak pernah
saya duka sebelumnya bahwa lembaga inilah ternyata saya mendapat lahan yang
subur untuk menyemaikan misi dan semangat saya.
Saat mengajar di Lemhannas saya
secara konsisten mencoba menularkan tata nilai yang saya anggap benar ini untuk
dapat diterima sebagai suatu pembekalan─waktuitu istilah yang saya gunakan
adalah strong personality, yang
kemudian berubah menjadi ketahanan pribadi yang didukung oleh adanya character building─supaya seseorang bisa
menjadi teladan, menjadi inspirasi bagi orang lain, dengan syarat memegang
teguh komitmen yang telah diucapkannya. Contoh ini barangkali bisa menjadi
sebuah ilustrasi betapa takdir atau nasib adalah suatu misteri ilahi, namun
bukan berarti sesuatu yang bersifat mutlak bila memang manusia mempunyai daya
dan semangat untuk mengubahnya menjadi lebih baik.
Komitmen Dimulai Dari Hati Yang
Bersih
Ada suatu cerita saat saya bertugas
di Kawangkoan. Seperti biasa, setiap terjadi konflik atau pemberontakan di
dalam negeri, pasti arus masuk-keluarnya “gerombolan” ke dalam kota sering
terjadi, yang umumnyaberkaitan dengan adanya hubungan dan bantuan dari
keluarga. Begitu juga dengan di Kawangkoan.
Di
Kawangkoan, ada rumah sakit kecil yang dikepalai Mantri L, diawasi seorang
dokter berkewarganegaraan Jerman, dr. Henz, dan di bantu beberapa bidan,
termasuk Bidan E.M.K. pasukan permesta mempunyai seorang pemimpin, J,T., yang
dikenal pemberani, bengis, dan dianggap jagoan karena kebal peluru. Ia sangat
ditakuti oleh orang Kawangkoan. Suatu hari, istri J.T. diseludupkan ke rumah
sakit Karangkoan karena melahirkan. Disana, Bidan E.M.K turut memeriksa dan
memberi perawatan sebagaimana mestinya. Pada bayi akan dilahirkan ternyata bayi
itu dalam keadaan tebalik (terguling) sehingga memerlukan peralatan yang lebih
canggih, yang tidak dipunyai Rumah Sakit Kawangkoan
Petugas
yang harus menangani kelahiran bayi itu sebetulnya bukan Bidan E.M.K, tetapi ia
hanya diminta untuk membantu menanganinya. Pada saat yang sama, J.T
mengintimidasi Bidan E.M.K bahwa istri dan anaknya harus selamat. Padahal bayi
itu dalam keadaan sulit, dan mereka harus memilih: selamatkan ibu atau anak.
Sang bidan terus berusaha menangani kelahiran bayi tersebut, meskipun si bayi
tersebut meninggal. Si ibu selamat. Kejadian itu mendorong J.T. masuk menyusup
ke Kawangkoan, mendatangi rumah sakit dengan satu tujuan: membunuh bidan E.M.K
yang menyebabkan anaknya meninggal. Bidan E.M.K ternyata tidak gentar. Ia
berani menghadapi J.T. dan mengatakan,”saya telah membantu dengan segala
kemampuan yang ada pada saya, tetapi bukan yang mengatur kehidupan. Bahwa bayi
itu meninggal, bukanlah atas kemauan saya.” Ucapan yang begitu polos dan jujur
akhirnya mampu menyentuh hati J.T. yang malah berbalik menjadi baik terhadap
Bidan E.M.K.
Dari
cerita tersebut, kita melihat betapa seorang Bidan E.M.K. mampu menampilkan
dirinya sebagai sosok professional yang tahu apa artinya komitmen, tahu apa
artinya menerima tanggung jawab, dan betul-betul mencerminkan karakter mulia dan
jati diri yang tidak tergoyahkan. Hal ini tidak jauh dari penampilan Bidan
E.M.K sehari-hari yang dikenal sebagai seorang yang keras, sangat disiplin, dan
sangat ringan tangan─mau menolong orang banyak. Tak heran bila dalam keseharian
ia disayangi orang banyak.
Bila
kita kembali bicara tentang Rudy Hartono,maestro bulutangkis Indonesia,
barangkali tidak semua orang paham bahwa prestasi yang telah dicapainya dalam
kurun waktu puluhan tahun itu, bukan sekedar mengandalakan bakat, melainkan
juga berkat gemblengan sang ayah, Zulkarnaen Kurniawan. Pada awalnya,
Zulkarnaen menemui banyak kesulitan dalam menggembleng sang anak, khususnya
dalam hal pengembangan fisik dan mental. Kesulitan utama adalah menambahkan
disiplin pribadi dan rasa tanggung jawab kepada Rudy Hartono. Maklum saja, saat
itu Rudy Hartono tak berbeda dengan anak-anak sebabnya yang memiliki kemauan
sesukanya. Namun, berkat usaha keras sang ayah, sedikit demi sedikit dalam diri
Rudy Hartono mulai tertanam disiplin pribadi yang kuat, kemauan yang keras
untuk berlatih, serta cita-cita dan ambisi untuk menjadi seorang juara. Rudy
Hartono berhasil menempa karakternya melalui kedisiplinan dan komitmen yang
luar biasa. Tanpa kerja sama yang baik dikedua belah pihak,mustahil akan lahir
seorang Rudy Hartono yang prestasinya menjadi legenda dunia.
Hal
yang sama berlaku pula bagi petinju legendaris, Mohammad Ali, yang sejak awal
sudah menyadari bahwa untuk menjadi seorang juara sejati, karakter seseorang
harus dibangun bukan sekedar mengandalkan latihan fisik, melainkan juga “dari
dalam”.
Apabila
seseorang berhasil membangun karakter dirinya, separuh jalan untuk menjadi
seorang professional bisa dikatakan sudah dilaluinya. Separuh jalan berikutnya
adalah melatih ketahanan komitmen yang ada pada dirinya.
Komitmen
adalah suatu bentuk pengejawantahan dari kemauan atau niat seseorang. Menurut
John C. Maxwell, makna komitmen bisa berbeda-beda untuk setiap individu. Untuk
seorang pembulu tangkis, misalnya, komitmen adalah kemampuan dan kenmauannya
untuk bangkit dari setiap kekalahannya dilapangan dan mulai bertanding lagi,
sedangkan untuk seorang petinju, komitmen adalah kemampuan dan kemauannya untuk
bangkit berdiri dari kejatuhannya diatas ring dan mulai bertinju kembali.
Sementara untuk seorang prajurit, komitmen adalah kemampuan dan kemauannya
untuk mendaki bukit tanpa mengetahui apa yang ada atau terjadi dibalik bukit
itu. Adapun untuk seorang rohaniwan, komitmen adalah kemampuan dan kemauannya
untuk meninggalkan kenyamanan kehidupan duniawinya demi membantu orang lain
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Agama
juga mengajarkan bahwa takdir (pilihan takdir banyak dan harus didalami melalui
agama) bisa diubah melalui doa yang mendapat rida Tuhan. Hakikat doa adalah
tuntunan pada diri sendiri untuk melakuakan peruabahan, misalnya meminta agar
tanaman kita tumbuh subur indikasinya kita harus merawat, menyirami, memupuk,
dan sebagainya, bukan hanya minta subur, tetapi tidak melakukan apa-apa.
Komitmen
ini akan semakin kompleks seiring dengan semakin luasnya cukupan tanggungjawab
yang diemban seseorang. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi pemimpin,
setidaknya semua komitmen yang sudah disebut tadi harus merupakan bagian diri
dirinya sebab ia akan menjadi tempat bergantung semua orang yang dipimpinnya.
Pemimpin
yang memiliki komitmen adalah seorang “doer” (pelaku), bukan lagi seorang
“dreamer” (pemimpi), sehingga bila ia sama sekali tidak memiliki komitmen, ia
tidak akan pernah dipatuhi oleh orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu,
komitmen yang tulus dapat memberikan inspirasi dan menarik perhatian orang
karena mencerminkan bahwa pemimpin tersebut memiliki keyakinan.
Kunci untuk menjadi seorang pemimpin
yang efektif bukan terletak pada upayanya agar rakyat mematuhi dan
mengikutinya,tetapi untuk menjadikan dirinya sebagai seseorang yang harus
diikuti rakyatnya. Dalam hal ini, pemimpin harus menjadi seseorang yang
dipercayai oleh rakyat untuk membawa mereka kearah yang lebih baik sebagaimana
diinginkan oleh rakyatnya. Dengan perkataan
lain, hak untuk memimpin hanya bisa diperoleh/ dicapai karena kepercayaan yang
telah diberikan rakyat kepadanya dan bukan direbut.
Pada
hakikatnya, komitmen dimulai dari hati yang bersih,yang tak lain adalah
kejujuran. Kejujuran merupakan mahkota yang sangat berharga karena akan
mencerminkan kepribadian seseorang dan dapat menjadikannya seseorang pemimpin
yang disegani. Tanpa memiliki kejujuran, seseorang pemimpin bisa saja ditakuti
oleh anak buahnya, tetapi tidak akan disegani.pemimpin yang jujur akan
memberikan keteladanan bagi yang dipimpinnya. Pebasket lagendaris,michael
jordan, mengatakan bahwa hati yang bersih dapat membedakan apa yang baik dari
apa yang hebat. Bila seseorang pemimpin ingin membuat kehidupan yang lebih baik
bagi bagi orang lain, kenalilah “hati”-nya untuk memperoleh keyakinan apakah ia
seorang yang memiliki komitmen atau tidak.
Komitmen akan
diuji melalui tindakan yang dilakukan seorang pemimpi. Ukuran keberhasilan dari
komitmen adalah tindakan itu sendiri, sesuai atau tidak dengan apa yang telah
diucapkan olehnya selama ini khususnya selama masa kampanye dan diperkuat pula
pleh penampilan track recordnya. Dengan kata lain satunya ucapan dengan
tindakan. Komitmenlah yang membuka pintu menuju keberhasilan prestasi.
Seorang
pemimpin tentu akan menghadapi berbagai tantangan dan tentangan. Dalam
waktu-waktu tertentu, komitmen merupakan satu-satunya faktor yang mendorong
untuk melakukan perbaikan yang pada akhirnya dapat membuahkan prestasi.
Berdasarkan
semua ini, menurut john C. Maxwell, orang dapat dibagi menjadi 4 tipe
berdasarkan komitmen yang ditampilkannya, yakni orang yang tidak mempunyai
tujuan dan tidak memiliki komitmen ( cop-outs) orang yang tidak tahu apakah
mereka dapat mencapai tujuannya sehingga mereka takut untuk memiliki komitmen (
hold-outs) orang yang ingin mencapai satu tujuan, tetapi kemudian berhenti
serta meninggalkan gelanggang karena kondisi semakin penuh tantangan atau
tentangan ( drop-outs) orang yang menetapkan suatu tujuan, memiliki komitmen, dan
berani menanggung beban dan resiko untuk mencapainya( all- outs).
Pada dasarnya,
untuk menjadi orang bertipe al-outs tidaklah sulit. Selama seseorang tidak
gampang menyerah atau putus asa, ia sudah memilki modal dasar untuk memenuhi
kriteria-kriteria yang dituntut dari tipe all-outs. Namun, menanamkan modal
dasar ini ternyata juga bukan perkara mudah sebab putus asa dan menyerah kalah
justru merupakan kelemahan terbesar yang dimiliki manusia.
Dalam hidup
bermasarakat, kita seolah sudah dicekoki bahwa mengalami”kegagalan” adalah
sesuatu yang buruk, memalukan, atau aib yang tak terampukan. Padahal, kenyataan
justru berbeda, orang yang berhasil umumnya mengalami kegagalan lebih banyak
dari pada mereka yang tidak berhasil.oleh karena, orang yang berhasil cenderung
melakukan percobaan lebih banyak dari pada orang tidak berhasil. Mereka yang
mencoba lebih banyak kemungkinan gagalnya juga lebih banyak, tetapi mereka
belajar dari kegagalan itu. Sebaliknya, orang yang tidak berhasil umumnya mudah
sekali menyerah setelah berusaha sekali dan gagal.” He who makes no mistakes,
makes no progress,” kata teddy roosevelt.
Usaha
mengembangkan semangat kompetisi untuk menjadikannya bagian dari budaya bangsa
bukanlah perkara mudah. Pada tahun 1985, dalam suatu konvensi KKT yang dihadiri
oleh kepala negara di Istana Bogor, (presiden) soeharto menyampaikan bahwa ‘
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, kita harus siap menghadapi
kompetisi dengan adanya globalisasi ini “. Apa yang dikatakan oleh soeharto itu
benar adanya, tetapi saya lalu berpikir bagaimana mungkin bangsa ini disuruh
berkompetisi kalau masalah kompetisi saja belom bisa dijadikan budaya.
Bagaimana kompetisi akan tumbuh sebagai dari budaya kalau budaya yang sedang
tumbuh subuh saat itu adalah budaya ABS ( asal bapak senang ), sebuah tren budaya mencari selamat,
tidak berani berlawan pendapat karena akibatnya justru membuat sengsara.
Paham ABS yang betul-betul sudah menjelma menjadi suatu
budaya itu benar-benar merusak karakter seseorang. Mengapa demikian? Oleh
karena, hukum yang berlaku dalam paham ABS adalah bagaiman membuat orang lain
senang terutama ditujukan kepada orang yang jabatannya lebuh tinggi apapun
caranya, termasuk misalnya dengan menyisipkan data-data yang tidak benar. Cara
ini sama saja dengan mendidik seseorang untuk menjadikan pembohon.
Pembahasan
mengenai perilaku ABS ini sempat saya angkat ketika mengajar materi proses
pengambilan keputusan. Saya tekankan dan saya simpulkan bahwa didalam konteks
pengambilan keputusan, perilaku ABS halnya dengan membuat wrong inormation.
Tidak hanya berhenti disitu sebab wrong information akan menyebabkan terjadinya
wrong judgement, yang bermuara pada munculnya wrong decisions yang dapat
berakibat fatal.
Dengan
demikian, seseorang yang mempraktikkan perilaku ABS sebenarnya tidak lebih dari
seseorang kriminal. Para pelakunya mengindikasikan bahwa dirinya tidak memiliki
kontol diri yang kuat, tidak berani kompetisi, dan hanya cari selamat. Sebagai
seorang yang mengajar masalah konsepsi ketahanan nasional, baik di Lemhannas
maupun di lembaga-lembaga lain, dalam memberikan materi konsepsi ketahanan
nasional, saya selalu menyisipkan pemikiran-pemikiran tentang bottom up
aproach, sebuah pendekatan yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dimulai
dari diri sendiri. Pemikiran ini ternyata sangat mudah ditangkap, diterima, dan
bahkan dirasakan kebenarannya.
Pengalaman ini
setidaknya memberi gambaran bahwa sebagai pribadi-pribadi yang unik, sebenarnya
semua manusia itu pandai, tetapi adakalanya kurang bisa secara tegar tampil
sebagai dirinya. Dalam kehidupan keluarga misalnya, umumnya ketahanan
keluarga-keluarga di indonesia masih sangat lemah, dan diperparah lagi dengan
kasus-kasus perselingkuhan yang sungguh berpotensi merontokkan keutuhan sebuah
rumah tangga. Dalam sebuah bagan,ketahanan keluarga saya tempatkan sebagai”
tumpuan “ karena keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu organisasi
bermasyarakat. Oleh karena itu, kalau saja bangsa indonesia memiliki ketahan
keluarga yang kokoh sebagai sebuah tumpuan atau stronghold, secara teoretis
bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat akan tetapi, kenyataannya tidaklah
demikian. Kondisi umum yang berkembang hingga saat ini adalah ketahanan
keluarga yang lemah dan ketahanan pribadi yang tidak kuat. Akibatnya, ketiak pribadi-pribadi
seperti ini menjadi pemimpin, fenomena yang muncul adalah tidak bersatunya kata
dan perbuatan –bilang “A”,tapi yang dilakukan “B”, atau “ dengar dan lakukan
apa yang saya katakan, tetapi tidak
perlu lihat dan permasalahkan apa yang saya perbuat”. Apa bila semakin banyak
pemimpin yang memiliki perilaku semacam ini, niscaya bangsa ini akan mengalami
krisis keteladanan _minimnya pemimpin yang patut di teladani. Inilah yang saya maksudkan sebagai objek dari
pemikiran bottom up aproac; dari pada sulit mencari anutan, mengapa kita tidak
berani tampil menjadi seorang anutan, paling tidak untuk 3 hal : anutan bagi
diri sendiri, anutan bagi keluarga, dan anutan bagi setiap bawahan yang
dipercayakan kepada kita.
Pemikiran
penulisan buku ini sebetulnya juga bermaksud sebagai penggugah transformasi
tatanilai seperti yang sudah saya singgung dalam buku pertama saya. Ketahan
keluarga memungkinkan dilakukannya transformasi tata nilai keluarga. Jenderal
H.Norman Schwarzkopf dalam bukunya, it
doesn’t take a hero, mengunkapkan sebagai berikut:
Ketika ayahku
berangkat kemedan perang pada agustus 1942, yang terakhir kali ia lakukan
adalah menjadikan aku: kepala rumah tangga :. Aku bersama ayah dan ibuku di
halaman belakang, tempat yang selalu aku anggap penuh misteri, semak-semak yang
tinggi dan aroma bunga-bungaan dan sebongkah batu tempat memanggang barbecue
yang bentuknya mirip mahkota. Kala itu petang hari dan beberapa kunang-kunang
mulai keluar; kakak-kakak ku, ruth, ann, dan sally, sibuk didalam rumah. Saat
itu aku berumur 7 tahun. Ayah berdiri didepanku dan memberikan semacam pesan
tentang alasannya meninggalkan kami, yaitu untuk mengabdi negara. Sebelum
pergi, ia mengatakan, ayah mendapat penugasan besar. Kepadaku ia menitipkan
para wanita dirumah itu katanya karena pria diciptakan untuk melindungi wanita.
Kata ayah, ia sangat yakin melakukan tugas tersebut, dan sebagai bukti
kepercayaannya itu, ia memberiku beberapa tugas. Ia lalu masuk kedalam rumah,
sementara aku menunggu bersam ibu. Ketika ayah kembali, ia membawa pedang
perwiranya: ayah serahkan pedang ini dalam pengawasanmu sampai ayah kembali”
katanya ,lalu meletakkan pedang itu ketanganku” kini, anakku, ayah bergantung
padamu.tanggung jawab ada dipundakmu. “
Pedang perwira
ayah adalah sesuatu yang sakrar dalam keluarga kami. Kami menyebutnya pedang
west point ayah karena pedang itu diperolehnya saat lulus pada tahun 1917. Ayah
secara gemblang menjelaskan bahwa west point telah membentuk seluruh hidupnya
moto west point yang berbunyi” duty,honor,country” adalah keyakinannya, dan
kini menjadi keyakinanku.
B.
MENJADI
DIRI SENDIRI
“It is not fair to
ask of other what you are not willing to do your self.”
(Tidaklah adil meminta orang lain melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak
ingin melakukannya).
Mempercayai Diri Secara Berlebihan Menimbulkan Disharmoni
Setiap
manusia, siapa pun dirinya, tertentu ingin punya hari depan yang baik, yang
dalam parameter manusia ditakar dalam bentuk pencapaian suatu keberhasilan.
Untuk meraih itu, manusia akan melakukan segala upaya untuk dapat meningkatkan
kinerja pribadi, baik dengan meningkatkan kemampuan dalam pengetahuan mau pun
keterampilan. Namun, satu hal yang sangat perlu di sadari dan diwaspadai adalah
pengembangan watak; setiap pribadi manusia harus memiliki kemantapan tentang konsep dirinya mengembangkan kekuatan yang dimiliki dan
mengurangi kelemahan yang ada. Sudah sering terjadi, oleh kerena nafsunya besar suntuk meraih sukses, seseorang bisa
mencurahkan selururuh kekuatan yang dimilikinya hanya demi karier. Jabatan dan
penghasilan yang sebesar-besarnya ( harta duniawi ).
Inikah yang
disebut sukses? Memang, bagi kebanyakan orang, kesuksesan identik dengan
pangkat, jabatan, uang, dan fasilitas. Dilihat sepintas, tidak
ada yang salah dari hal ini sehingga sering menjadi seseorang berhasil mendapat
pangkat, jabatan, dan penghasilan tinggi. Namun, tidak jarang juga terjadi
bahwa keberhasilan tersebut harus dibayar dengan pengorbanan yang besar.
Keluarga berantakan. Bila semua itu menjawab pertanyaan “inikah yang disebut
sukses?” menjadi relevan untuk kemudian dipertanyaakan “hidup itu untuk apa?”
apakah lebih baik menjalani hidup tanpamelakukan apa pun dan kemudian sukses
karena tidak melakukan apa pun? Ataukah, lebih baik mencoa untuk meraih mimpi, meskipun
taruhanya adalah mengalami kegagalan? Pilihan yang pertama menjamin bahwa tidak
ada yang diraih, sementara pilihan yang kedua menawarkan kemungkinan bahwa
mimpi bisa menjadi kenyataan.
Theodore Roosevelt pernah mengatakan
“lebih baik berani melakukan sesuatu untuk memenangkan piala kejayaan meskipun
harus dihiasi dengan kegagalan dari pada dibebani dengan semangat lemah, yang
tidak senang juga menderita, karena mereka hidup dalam cahaya kelabu yang tidak
mengenal kemenangan dan kekalahan.”
Kalimat bijak itu tampaknya ditujukan
kepada mereka yang merasa bangga karena belum pernah gagal, yang bahkan
meremehkan orang yang pernah mengalami kegagalan. Padahal ada kemungkinan bahwa
mereka yang mengaku belum pernah gagal bisa karena memeng mereka begitu bagus
dalam segala hal yang mereka lakukan, atau karena tugas yang mereka lakukan
memang sesungguhnya sangat mudah. Akan tetapi, terbuka kemungkinan ketiga :
orang-orang semacam ini lebih suka bermain aman dan tidak siap mengambil resiko
apa pun. Saya sempat mengalami perjuangna dalam rangka pertumbuhan kejiwaan
saya. Saya akui bahwa pada awalnya saya cenderung menjadi seorang yang
individualis, seorang yang cenderung hanya mengandalkan otak.
Sedikit saya singgung kembali
peristiwa yang hampir membuat saya mengalami krisis identitas, yakni semasa
saya “dikucilkan” dan “dipetieskan” di Bandung. Dalam kurun waktu tiga tahun
itu, saya lebih merenung, lebih banyak mencoba memadukan hati (sesuatu yang
kini dikenal dengan istilah emotional intelligence) dan otak. Saya sangat
bersyukur sewaktu surat keputusan pensiun akan disampaikan, saya sempat
mendapat pertanyaan: “apakah tidak ingin mencoba melakukan sesuatu?” sebuah
pertanyaan yang kala itu spontan saya jawab dengan nada setengah berharap:
“apakah masih ada yang bisa saya lakukan?”.
Jawaban yang
diberikan Mayjen P. Sobiran waktu itu seperti memberi jalan: saya diberi
kesempatan untuk menulis surat pada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), apa pun
isi surat itu. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan, saya menulis surat kepada
KSAD, tetapi isinya bukan untuk meminta pangkat, jabatan, atau uang, melainkan
sebuah klarifikasi demi kehormatan pribada dan keluarga. Pengalaman tersebut,
termasuk pertemuan saya dengan beberapa pribada yang bisa saya jadikan anutan,
cukup menjadi referensi bagi saya untuk menemukan pemikiran bahwa memadukan
kompetensi dan karakter saya tidaklah cukup untuk dapat meraih hidup yang
bermakna atau “sukses sejati”. Kita harus menambah dengana memadukan tiga unsur
yaitu kompetensi, karakter dan tuntutan ilahi (spiritual intelligence).
Oleh karena
itu, saya bersyukur dan berterima kasih ketika kembali mendapat penugasan. Bagi
saya, janji yang pernah saya ucapkan untuk tidak berbicara pada orang lain tentang
kasus yang menimpa saya, saya anggap sebagai ujian bagi seorang mantan komandan
resimen taruna yang pernah mengajarkan tarunanya untuk tetap melaksanakan
tugas, meskipun tidak ada yang mengawasi. Teguh memegang janji dan mematuhi
sesuatu yang pernah saya ajarkan ternyata bukan hal mudah, tetapi dapat kita
lakukan dengan modal displin yang kita tanamkan didalam diri kita.
Melengkapi IQ dengan EQ
Daniel
Goleman, penulis Emational Intelligence
(1996) mengatakan bahwa orang yang ber-IQ tinggi, tetapi EQ-nya rendah,
cenderung mengalami kegagalan yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang
IQ-nya rata-rata, tetapi EQ-nya tinggi. EQ atau Emational Quotient adalah kemampuan seseorang untuk memahami apa
yang dirasakan atau dipikirkan orang lain. Hal ini, sekali lagi, menunjukan
bahwa penggunaan olah rasa atau hati dalam perilaku manusi sangatlah penting.
Dengan kata lain, kepandaian bila kita didukung oleh kualitas moral manusia,
akan menyebabkan tertutupnya mata hati atau rendahnya EQ.
Goleman
menjelaskan bahwa kesuksesan kinerja manusia umumnya didukung oleh 85% EQ
faktor-faktor lain terkait dan 15% IQ. Peran EQ begitu signifikan sebab sebelum
otak menetukan pelaksanaan sebuah tugas, ia akan menunggu komandan dari hati.
Oleh karena itu, bisa dibayangka bila mata hati tertutup, otak akan bekerja
tanpa tuntutan hati nurani, sebagaimana telah dijelaskan pada subbab
sebelumnya.
MEMADUKAN IQ & EQ UNTUK MENCAPAI KEBERHASILAN
|
CONCEPTUAL SKILL
TECHNICAL
SKILL
|
HUMAN SKILL
TOP MANAGEMENT
MIDDLE
MANAGEMENT
LOW MANAGEMENT
DANIEL GOLEMAN :
EMOTIONAL INTELLIGENCE
Gambaran 3.1 memadukan IQ dan EQ untuk Mencapai
Keberhasilan
Untuk memberikan gambaran konkret mengenai bagaimana memadukan EQ dan IQ
dalam mencapai keberhasilan, dihalaman 60 terdapat matriks yang menggambarkan
tiga bentuk skill yang harus dimiliki, yaitu conceptual skill, technical skill, dan human skill pada top
management, midlle management, dan low
management.
Berdasarkan diagram terlihat kaitan antara conceptual skill, technical skill, dan human skill. Mereke yang berada dijajaran top management dituntut memiliki conceptual skill sebesar ± 60%, dan hanya membutuhkan technical skillsebesar ± 10%.
Sebaliknya, bagi mereka yang berada dijajaran low management, diperlukan penugasan technical skill± 60%, dan hanya ± 10%.
penugasan conceptual skill. Sementara, untuk jajaran midlle managementpenugasan kedua skill tersebut harus sama besar
(seimbang).
Jika kita perhatikan seksama diagram diatas, ada sesuatu yang menarik untuk
dicermati. Ternyata human skill yang
dibutuhkan baik oleh top management, midlle management, maupun low management sama besar, yaitu sekitar
± 30%. top management membutuhkan human skill untuk memotivasi bawahan
sehingga mereka mau melakukan apa yang diarahkan untuk mencapai hasil optimal.
Disini, yang dibutuhkan bukan kepandaian, melainkan olah rasa yang sangat
berperan dalam menggerakan bawahan agar mau menuruti perintah atasan.
Sebaliknya bagilow management, melalui
human skill mereka dapat meyakinkan
atasantentang sesuatu yang diyakini kebenarannya, tetapi perlu dikomunikasikan
dengan atasanya. Human skill juga
diperlukan oleh mereka yang berada ditengah (midlle management), sebagai jembatan yang baik t6anpa kehilangan
kepribadiannya.
Meskipun demikan, paparan ini bukan mengajak kita untuk
mengabaikan pentingnya IQ dalam pembinaan pemikiran, sikap, dan perilaku
manusia yang utuh. IQ tetap perlu dikembangkan karena menyakut pengetahuan dan
keterampilan manusia. Sementara, EQ juga harus di tampilakan sebaiki-baiknya,
bahkan kalo perlu di latoh agar menjadi mitra kerja bagi IQ.
Saya sudah bercerita tentang wasiat dari
ibu saya yang meminta saya untuk : “sing eling lan ojo dumeh”. Wasiat tersebut
ternyata sangat bermanfaat dan mampu menimbulkan perubahaan kejiwaan saya, yang
semula hanya mengandalkan IQ. Saya menjadi terpanggil untuk menumbuh kembangkan
IQ di dalam diri saya.
Itulah salah satu bekal yang saya bawa
hingga di tugaskan di Lemhannas dan berkenalan dengan konsepsi Ketahanan Nasional.
Secara konseptual dan formal, di sinilah saya mulai berpikir tentang pentingnya
jati diri manusia. Akan tetapi, bila kehidupan saya dilihat secara utuh, boleh
dikatakan bahwa pemikiran tentang jati diri manusia sebenarnya mencerminkan
perjuangan dan pergumulan saya di dalam hidup, karier, dan pertumbuhan
kejiwaan. Melalui pergumulan itu, saya menjadi semakin yakin bahwa Tuhan sayang
kepada saya sebab berdasarkan cobaan yang saya alami di masa awal karier,
seharusnya saya sudah dipecat dari dinas
militer. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi, bahkan sebaliknya, Tuhan
“mengirimkan” utusan-utusan terbaiknya, yakni Jenderal Gatot Soebroto, juga
istri saya yang jauh lebih muda. Meskipun jauh lebih muda, dari istri saya itu
saya menemukan bahwa menggunakan hati nurani berbarengan dengan character
building merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan, baik bagi
seorang perwira maupun kehidupan manusia pada umumnya.
Pada perkembangannya, character building
saya yakini bukan hanya dibutuhkan oleh perwira, tetapi juga oleh semua manusia
demi terselenggaranya kehidupan manusia yang lebih baik. Dari situlah saya lalu
berusaha mendewasakan diri dengan memadukan IQ (yang semula menjadi prioritas
saya) dengan menumbuhkembangkan EQ. kuatnya keyakinan tentang pentingnya
character building mendorong saya untuk mengembangkan konsep jati diri,
Memegang
Teguh Prinsip “Knowledge is power but character is more”
Seorang teman yang baru pulang dari
sebuah kunjungan kerja ke Tokyo, Jepang, bercerita kepada saya dengan penuh
semangat. Katanya, meskipun kunjungannya hanya dalam bilangan hari, ia dapat
merasakan betapa masyarakat Jepang memiliki karakter yang prima dalam hal
kedisiplinan. Salah satu hal yang sempat ia perhatikan adalah, bahwa setiap
kali mengunjungi tempat-tempat yang memiliki escalator, semua orang selalu
berdiri di sebelah kiri. Hal yang sama juga ia temui di kota-kota lain yang
sempat dikunjunginya di Jepang.
Suatu kali, sebagaimana kebiasaannya di
Indonesia, karena asyiknya mengobrol dengan teman Jepangnya, ia naik escalator
dan berdiri berdampingan. Apa yang terjadi? Dengan sopan si teman Jepang
memintanya untuk bergeser, berdiri di sisi kiri. Ketika hal itu ia tanyakan,
jawabannya sungguh mencenangkan: itu adalah etika naik escalator. Sisi kanan
sengaja dibiarkan kosong, untuk member ruang bagi mereka yang tergesa-gesa
sehingga harus “berjalan” di tangga berjalan itu. Sebuah aturan tak tertulis,
tetapi dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat, baik anak-anak maupun orang
dewasa.
Sepulangnya ke Jakarta, ia mengaku
dihantui rasa kecewa dan sedikit frustasi saat kembali menyaksikan pemandangan
yang bertolak belakang dengan yang dialaminya di Jepang. Dalam kekecewaannya
itu, ia mencoba menghibur diri dengan kata-kata penghiburan: “ini sudah di
Jakarta, Indonesia, bukan di Tokyo, Jepang lagi.”
Pada suatu pagi ia berkunjung ke
apartemen kolega Jepangnya itu, yang sebagian besar penghuninya adalah orang
Jepang. Sekali lagi ia merasa takjub manakala menemukan pemandangan yang hamper
serupa dengan yang dilihatnya di Tokyo. Pagi hari, ketika bus sekolah datang menjemput, ia menyaksikan betapa
anak-anak yang hendak berangkat sekolah, berbaris tertib, antre, massuk dalam
bus. Tidak berebut dan tidak ada sikut-sikutan. Ia tersentak karena ternyata
kata-kata penghiburannya dulu meleset sebab kali ini kejadian itu berlangsung
di Jakarta, bukan di Tokyo.
Teman itu mengatakan, alangkah indahnya
bila hal yang sama bisa terjadi di masyarakat kita. Tidak perlu menyeluruh,
cukup di wilayah DKI Jakarta saja, misalnya. Jawabannya tentu tidak semudah
teorinya. Apa yang ia alami tadi adalah hasil atau buah dari suatu usaha. Kita
tidak pernah tahu, berapa lama waktu yang dibutuhkan masyarakat Jepang untuk
menanamkan kedisiplinan semacam itu. Awalnya tentu hanya merupakan imbauan, tatacara,
atau tuntunan etika. Namun, ketika hal itu dipatuhi, diteladani, dan disemai
oleh seluruh lapisan masyarakat (bangsa), apa yang semula hanya berupa imbauan,
tatacara, atau tuntunan etika itu akan mengalami kristalisasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bermetamorfosis menjadi suatu karakter bangsa.
Penjelasan singkat tersebut rupanya
justru semakin menguatkan rasa kecewa dan frustasi teman saya. Baginya, itu
sama saja saya mengatakan bahwa tidak
mungkin mengharapkan hal yang sama terjadi di negeri ini. Sebuah lonceng kematian bagi harapannya.
Namun, saya katakana lagi bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita masih
berada di bawah langit. Saya lalu menyampaikan bahwa saya pernah mengintrodusir
sebuah pendekatan yang bersifat bottom up, yang agaknya menarik untuk
diterapkan sebagai eksperimen penyemaian disiplin ini. Kepada teman itu saya
katakana “cobalah mulai dari dirimu”. Mulailah mendisiplinkan diri sendiri
untuk selalu berada di sisi kiri setiap kali menaiki escalator. Setelah itu,
kenalkanlah kebiasaan itu kepada anggota
keluarga, lalu meningkat ke lingkungan: baik lingkungan tempat tinggal maupun
lingkungan kerja. Bila mereka merasakan manfaatnya, tentu dengan sendirinya
mereka akan menularkan kedisiplinan ini kepada lingkungan masing-masing.
Sebetulnya, masalah kecewa atau frustasi
bukanlah sesuatu yang ingin saya tekankan di sini. Saya hanya ingin mengatakan
bahwa tidak ada kata terlambat untuk menyemaikan sesuatu yang positif; yang ada
hanyalah, seberapa kuat ketahanan dan komitmen kita dalam melaksanakannya.
Sepanjang hidup dan proses karier saya, pemikiran yang terus tumbuh dan
berkembang adalah keinginan untuk menjadi sosok yang mempunyai strong
personality, yang pada akhirnya saya lihat akan terwujud melalui adanya
character building. Pada waktu mengembangkan pemikiran tentang ketahanan
pribadi, saya mengalami bahwa lingkungan untuk penyemaiannya sebetulnya tidak
terlalu kondusif sehingga pemikiran tersebut tidak berkembang, meskipun di sisi
lain tidak ada yang menolak atau mengatakan bahwa pemikiran itu tidak baik.
Akan tetapi, sekali lagi, dengan mengembangkan apa yang antara lain dikatakan
Kelly Poulos, saya terus berusaha mencapainya meskipun dengan susah payah.
Contoh yang sudah saya ceritakan pada
bab sebelumnya adalah tekad yang timbul sewaktu saya masih berumur belasan
tahun, yakni tekad untuk meningkatkan harkat dan martabat diri pribadi dan
keluarga yang akhirnya saya canangkan dengan menggunakan pemeo “di mana ada
kemauan di sana ada jalan”. Meskipun, pada suatu penggal perjalanan hidup saya
agak kebablasan sehingga menjadi orang yang terlalu individual. Bahkan,
barangkali bisa dikatakan mengarah pada sebuah kesombongan diri, merasa paling
pintar, paling “berisi”. Fase tersebut tidak berakibat fatal dalam kehidupan
saya, tetapi berdampak pada perjalanan karier yang tidak terlalu mulus.
Memnag, manusia seolah selalu melawankan
kualitas kepala (otak) dengan kualitas hati. Hati selalu diidentikan dengan
segala sesuatu yang berkaitan dengan kelembutan, rasa, dan kedermawanan, sementara
otak dikaitkan dengan sesuatu yang tegas dan pemikiran realistis. Ada suatu
pemikiran tradisional, yang mengidentikan hati dengan pusat intelegensi dan
otak sebagai instrument pemikir. Hanya kepala (otak) yang dapat menguraikan
makna, menyelesaikan masalah-masalah teknis, dan menyimpan memori-memori.
Namun, tidak ada pengetahuan yang dapat memberi “rasa” tentang mana yang benar
atau mana yang indah. Begitu pula soal keberanian, tidak dilahirkan oleh
pengetahuan, melainkan oleh rasa. Oleh karena itu, terhadap segala hal yang
terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, kepala atau otak tidak dapat memberi
referensi emosional dan spiritual. Kepala bisa saja pintar, tetapi tidak bijak.
The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched.
They must be felt with the heart (apa yang terbaik dan terindah di dunia ini
tidak bisa dilihat dan disentuh, melainkan harus menggunakan perasaan dari
hati), begitu kata Helen Keller.
Pandangan yang mendikotomikan hati
denagn kepala juga merupakan cirri dari system ekonomis. Keberhasilan seseorang
di sekolah atau organisasi pada umumnya lebih ditunjang oleh kualitas kepala
(otak), bukan hati. Begitu pula dengan keberhasilan dari para pengejar karier.
Sebaliknya, para petani dan pengrajin dikatakan sebagai manusia yang bekerja
dengan hati yang penuh perhatian. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini
tidaklah kurang memiliki kapasitas intelektual, tetapi situasi dan kondisi
masyarakatlah yang tidak mendorong mereka untyk berpikir kritis, menganalisis,
dan menemukan hal-hal baru. Mereka tidak dapat meniti tangga hierarki sekolah
dan korporasi untuk mencapai pintu masuk ke dalam pengetahuan teknis, teoretis.
Oleh karena itu, dalam menjalani hidup,
tampaknya kita harus memilih kepala atau hati, atau mencari keseimbangan di
antara keduanya. Kearifan tradisional menyatakan bahwa keseimbangan bisa
diperoleh misalnya, bila seseorang memilih kepala untuk sekolah atau bekerja,
di rumah ia harus bertindak dengan hati. Inilah yang memungkinkan orang
tersebut beralih karakter ibarat berganti pakaian.
Namun, bila kita menganggap bahwa antara
kepala dan hati merupakan satu kesatuan dari tubuh yang utuh, dalam hal ini
hati bukan hanya berfungsi sebagai pemberi rasa kasihan dan kemurahan hati,
melainkan juga berpartisipasi dalam menentukan persepsi pengalaman seseorang,
kualitas pengetahuan, kapasitas untuk mengafirmasi (kebenaran atau
kemuslihatan, kecantikan atau keburukan), dan hasrat untuk beraksi
(keberanian).
Persepsi pengalaman bergantung pada
keterbukaan hati kita terhadap pengalaman. Melihat orang lain sedih atau
gembira itu biasa, tetapi bila hati kita terbuka bagi orang itu, berarti selain
“melihat” kita juga akan mengalami perasaan itu bersamanya. Empati dan rasa
kasihan, atau mengalami sesuatu bersama-sama orang lain adalah aktivitas dari
hati yang terbuka dan mau mendengarkan.
Kualitas pengetahuan menunjukan terlibat
atau tidaknyahati dalam setia keputusan yang kita buat. Kepandaian kita akan
menyimpan data-data dari dan tentang orang lain, tetapi tidak ikut mengalami
sesuatu bersama orang tersebut. pengetahuan yang didapat keala tanoa melibatkan
hati akan mencuci emosi. Ibarat computer, kepala bisa menarik kesimpulan
berdasarkan pada data-data yang telah tersimpan dan terprogram. Tanpa
melibatkan hati, kepandaian dapat meneliti persoalan manusia secara ringkas dan
bernalar. Sebaliknya, bila hati ikut terlibat, kualitas hati akan memengaruhi
apa dan bagaimana dari sesuatu yang kita ketahui itu. Bila hati kita
kekanak-kanakan misalnya, pengetahuan kita, terutama tentang manusia, akan
kabur dan terdistorsi. Bila hati kita lemah dan ketakutan, kita tidak akan
tertarik untuk mengetahui sesuatu yang “melawan” ketakutan kita itu. Bila hati
kita cemburu, kita ingin bersembunyi dari pengalaman-pengalaman yang “menggerogoti
hati kita”.
Dengan kata lain, hati adalah pusat
kesadaran, sedangkan kepala adalah pusat konseptualisasi. Keduanya saling
melengkapi, tidak dapat dipisahkan. Kepala berpikir, tak dapat bertindak.
Kepala yang terpisah dari hati tidak dapat menegaskan atau menginginkan.
Afirmasi akan keyakinan dan penolakan terhadap hal jahat harus datang dari hati
yang kuat dan berani karena dari sanalah seseorang dapat mengalami perbedaan
antara kebenaran dan kesalahan. Begitu pula, keinginan untuk menghancurkan dan
mengeksploitasi orang lain juga berakar dari hati, yakni bila hati yang keras
atau yang tertutup bertemu dengan kepala yang melulu berorientasi teknik, yang
mencari kemungkinan-kemungkinan, dan yang berisi pengetahuan “saja”. Oleh
karena itu, afirmasi bukan merupakan sebuah kontradiksi terhadap sikap kritis.
Sebaliknya, sikap kritis justru akan memperkuat afirmasi kita atau malah
menyangsikannya sehingga mendorong kita untuk mencari alasan-alasan di balik
pilihan yang diragukan tersebut.
Memang, orang yang dapat
mengafirmasi hidup dan kebenaran pun
bisa melakukan kesalahan. Kita masih mudah dibodohi oleh ilusi dan angan-angan
atau mimpi, tertipu oleh penampilan orang lain, atau terjebak dalam
peristiwa-peristiwa yang menyesatkan. Dengan kata lain, lawan dari keragu-raguan
bukanlah kepastian, melainkan keyakinan dan kemauan untuk mengambil risiko
meskipun itu dianggap salah. Bila kepastian lebih identik dengan sebuah kendali
dan ramalan, keyakinan dapat diidentikan dengan upaya untuk ikut terlibat atau
mengalaminya sendiri.
Sebagai contoh, orang penakut selalu
mencari pelindung atau seseorang yang dapat mengafirmasi hidupnya, sebagai
ganti dari hilangnya keyakinan dan kemampuannya untuk bernalar kritis. Inilah
yang dimaksud dengan hasrat untuk beraksi (keberanian), mengafirmasi sebuah
persepsi atau perasaan yang tidak biasa dan berusaha menghadapinya. Dalam kamus
Webster, kata “keberanian” berasal dari akar kata Bahasa Latin atau Prancis,
Coeur, yang artinya “Hati sebagai pusat dari intelegensi dari perasaan….”
Membuka
Mata Hati
Bangsa Indonesia sebenarnya tidak
kekurangan orang pandai. Potensi sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini
sungguh luar biasa. Akan tetapi, mengapa keadaan bangsa dan Negara kita
tahun-tahun terakhir ini justru seolah tidak menampakkan kekuatan potensi
tersebut? sejumlah pendapat mengatakan bahwa masalah yang dihadapi bangsa ini
tidak terletak pada masalah kepala (otak) atau IQ melainkan pada olah “rasa”
yang tidak ditampilkan. Atau dengan kata lain hati nurani.
Bicara tentang hati, ada hadis nabi yang
mengatakan bahwa “ada segumpal daging dalam diri manusia; kalau daging itu
baik, baik lah seluruh tubuhnya, sedangkan kalau daging itu rusak, rusak
jugalah seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu tidsk lain adalah “hati”. Saya
sangat tertarik untuk mencoba mendalami tentang hati sebab dalam hati nurani
itulah terdapat sifat-sifat dasar manusia yang telah ditanamkan Tuhan.
Sifat-sifat dasar inilah yang disebut jati diri manusia. Dalam kaitannya dengan
hadis nabi tadi, “kerusakan” manusia terjadi tentunya karena hatinya kotor,
tertutup oleh segala
macam penyakit dan kotoran sehingga sifat dasar yang telah diberikan Tuhan
tidak bisa ditampilkan, apalagi ditumbuhkembangkan atau dibangun.
Apabila ini yang terjadi, berarti
penampilan seseorang hanya menunjukan cipta dan karsanya tanpa ada filter
(saringan) dari hati sehingga timbul apa yang kita lihat misalnya, dalam wujud
yang sangat jelas: Negara kita dikenal sebagai Negara paling korup di kawasan
Asia. Kita patut malu sebab korupsi yang merajalela itu tidak dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai akal (otak), tetapi tidak diawasi atau dikendaliakn
oleh hati yang bersih. Akan tetapi, aib ini tentu saja bukan tidak mungkin
untuk dihapus. Hanya satu cara yang dapat dilakukan untuk menghapusnya, yaitu
ketulusan kita untuk mau membuka kembali mata hati yang tertutup atau yang
telah kotor. Melatih hati yang sudah tertutup dapat dilakukan dengan mengalami,
berpikir kritis, serta menguatkan kemauan untuk kemudian melaksanakannya.
Melatih hati seperti ini akan dapat
mengalahkan egosentrisme, meningkatkan rasa mau berbagi dengan orang lain, dan
menumbuhkan rasa tanggung jawab moral. Agar sukses melatih hati, diperlukan
disiplin, konsentrasi, berpikir kritis, dan kepiawaian berkomunikasi. Tujuannya
adalah terwujudnya hati yang berkembang, berintegritas, menjadi pusat
spiritual, serta tumbuhnya rasa ke”aku”an yang tidak dimotivasi oleh ketamakan
atau ketakutan, tetapi oleh kecintaan akan hidup dan perasaan terhadap sesama.
Salah satu cirri orang yang memiliki
hati yang kuat umumnya akan terpancar pada sifatnya yang periang dan memiliki
rasa humor. Alasan paling berbahaya tentang mengapa hati tidak berkembang
adalah karena individu tersebut mengeraskan hatinya hingga sekeras batu. Hati
bisa menjadi jahat karena pikiran dan kemauan si empunya hati hanya diarahkan
pada kekuasaan, sementara orang lain dimanfaatkan sebagai objek atau boneka.
Hati yang keras umumnya tidak dapat “mendengar” emosi orang lain karena bagi
mereka, emosi tersebut hanya akan
melahirkan rasa ketakutan, kecemburuan, kebencian atau keinginan balas dendam.
Itulah sebabnya, orang yang dikatakan telah mati, hatinya akan menjelma menjadi
orang yang serba tega terhadap siapa pun yang menghadapi masksud dan tujuannya.
Apabila hati tertutup, tindakan yang
dilakukan manusia umumnya termotivasi oleh rasa “berani”, nafsu, atau rasa
takut. “berani” di sini artinya lebih pada suatu tindakan yang dilakukan demi
menjawab risiko yang muncul dari suatu tujuan. Bukan “berani karena berani”,
melainkan “berani karena nekat”. Misalnya “berani” korupsi, “berani” berbohong,
atau “berani” membunuh, urusan belakangan.
Sebaliknya, bila hati ikut bicara,
terminology “berani” dapat disinonimkan dengan “keteguhan hati”. Untuk dapat
membedakan “rasa” di antara kedua keberanian tersebut, latihan hati tampaknya
menjadi sangat penting. Oleh karena itu, bagi orang yang menyesali perbuatannya
dan mau bertobat, mereka harus mampu melakukan perubahan total terhadap hati
mereka, yang diawali dengan mengubah pikiran, mengendapkan dalam hati, dan
melaksanakannya.
Dengan kata lain, orang yang mengalami
penyesalan harus mampu “membenci” dirinya yang dulu untuk dapat menemukan jalan
hidup yang baru.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Mengenal diri sendiri merupakan fondasi
keberhasilan seseorang untuk mengembangkan karakternya. Oleh karena, dengan
mengenal dan mengakui kekuatan, keunggulan, maupun kelemahan pribadi, seseorang
akan mudah menerima orang lain apa adanya dan mengakui bahwa setiap individu
terlahir dengan keunikan masing-masing. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sejak
lahir setiap manusia sudah dibekali dengan keunikan sebagai pribadi, yaitu
bahwa manusia itu sendiri dan mandiri karena masing-masing dibekali budi
sendiri sehingga tahu apa yang dilakukannya dan mengapa melakukannya. Sebagai
pribadi yang mandiri, berarti manusia mempunyai kemerdekaan untuk menentukan
dan memutuskan sendiri apa yang akan diperbuat. Itulah keunggulan manusia
dibandingkan dengan ciptaan tuhan yang lain, yang dengan berbekal kekuatan itu
manusia akan selalu berkembang dan ia tidak pernah berhenti dalam ke –kini-anya.
Menjadi diri sendiri melalui proses
mengenal diri adalah menumbuhkan pengendalian diri karena dalam mengembangkan
dirinya seseorang harus senantiasa berjalan pada potensi-potensi yang
dianugerahkan padanya. Selain itu, banyak orang menjadi apa yang dikatakan
orang lain dan menganggapnya itu sesuai dengan dirinya. Yang perlu disadari
adalah bahwa setiap orang itu berbeda dan unik. Tak ada orang yang sama. Mereka
dianugerahi kemampuan, potensi dan bakat yang berbeda-beda.Tugas manusia adalah
menggunakan semua itu untuk kemajuan kehidupan ini. Tujuan mengenal diri untuk
pengembangan karir adalah mengenal apa potensi-potensi, bakat-bakat, kemampuan
dan ketrampilan yang ada pada diri agar bisa digunakan untuk kemajuan karir.
Selain itu, mengenal diri akan menumbuhkan kesadaran dan pengendalian diri,
suatu bentuk pengembangan emosi dan spiritual yang dibutuhkan untuk mengiringi
langkah kemajuan karir.
Semua orang bisa
memiliki karisma asal ia mau mengenali diri sendiri dan mengembangkannya. John
C. Maxwell mencatat setidaknya untuk bisa memiliki karisma seseorang hatus
mampu:
1.
Mencintai kehidupan; orang yang lebih menyukai sosok yang
bisa menikmati hidup daripada sosok yang bisanya hanya menggerutu, mencaci maki
atau mudah putus asa.
2.
Menghargai orang lain; hal yang terbaik yang bisa kita
dilakukan untuk orang lain adalah menghargai mereka. Cara ini sangat tidak
merugikan kita, tetapi sangat menyenangkan bagi orang lain. Benjamin Disraeli, mantan
Perdana Menteri Inggris, mengatakan, “Hal terbaik yang dapat Anda lakukan
kepada orang lain bukanlah membagi kekayaan Anda, melainkan menunjukkan
kekayaan mereka.”
3.
Membangkitkan harapan; harapan adalah milik semua orang. Jika
kita bisa menjadi orang yang mampu membangkitkan harapanorang lain, mereka akan
tertarik pada Anda dan mengidolakan Anda. Napoleon Bonaparte adalah contoh
pemimpinyang mampu membangkitka harapan-harapan pada rakyatnya.
4.
Berbagi (sharing); seorang yang dengan sepenuh hati
dansepenuh hidupnya mau berbegi dengan sesamanya, bila kelak menjadi pemimpin
akan dicintai oleh pengikutnya.
sumber
Soedarsono,
Soemarno. 2005. Harsat Untuk Berubah.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo