Minggu, 27 Maret 2016

MENGENAL DIRI SENDIRI DAN MENJADI DIRI SENDIRI

BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang

Mengenal diri sendiri sangat penting sebelum kita mengenal orang lain.Memahami hakikat diri sendiri lebih sering menjadi hal yang sangat sulit dimata kebanyakan orang. Mereka sering menilai orang lain namun tak pernah menilai dan mengenal dirinya sendiri. Banyak orang dengan mudah  mengenali orang lain, tetapi ternyata tidak berhasil mengenali dirinya  sendiri.
Mengenali diri sendiri tidak semudah mengenal orang lain. Oleh karena itu,  siapapun  sedemikian mudah menemukan kesalahan orang lain, tetapi tidak gampang melihat kesalahan   diri sendiri. Akibatnya, banyak orang menganggap bahwa orang lain selalu salah, kurang,  dan tidak ada benarnya. Begitu pula sebaliknya, dirinya selalu diangaggap paling benar.
      Betapa sulitnya mengenal diri sendiri itu, hingga ada hadits nabi yang mengatakan bahwa siapa saja yang berhasil mengenal dirinya,   maka akan bisa mengenal Tuhannya. Man arafa nafsahu faqod arafa rabbahu.  Seseorang yang mampu mengenal dirinya secara benar, maka akan berlanjut bisa  mengenal Tuhannya secara benar pula. Namun sayangnya, sekalipun sekedar mengenal dirinya  sendiri ternyata tidak mudah. Itulah sebabnya,  tidak semua orang mampu mengenal Tuhannya.  
Dalam kehidupan sehari-hari orang yang tidak  mampu mengenal dirinya sendiri dianggap sebagai orang  yang tidak tahu diri. Padahal,  sebutan atau identitas itu   dianggap  kurang baik.  Orang yang  tahu diri  biasanya  bisa menempatkan posisiya secara tepat.  Tatkala berbicara, mengambil sikap,  berperilaku dalam pergaulan,   bagi orang yang paham terhadap  dirinya sendiri, maka   tidak akan melakukan kesalahan. Begitu pula  sebaliknya, bagi orang yang tidak tahu diri.
       Memahami  diri sendiri,  sebagaimana dikemukakan di muka,  ternyata  tidak mudah. Akan tetapi seharusnya  dilakukan oleh setiap orang. Oleh karena itu,   mempelajari  tentang diri sendiri  jauh lebih penting  dibanding mempelajari orang lain. Bagi orang bijak dan arif,  justru yang paling penting adalah memahami diri sendiri agar  bisa meletakkan dirinya secara benar dan tepat. Banyak orang melakukan kesalahan hanya oleh karena tidak mampu memahami dirinya sendiri.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa arti mengenal diri sendiri?
2.      Apa arti menjadi diri sendiri?
3.      Bagimana seseorang untuk bisa memiliki karisma?

C.    Tujuan
1.      Memenuhi tuga mata kuliah perubahan sosial.
2.      Mengetahui apa arti dari mengenal diri sendiri.
3.      Mengetahui apa arti menjadi diri sendiri.



BAB II
 PEMBAHASAN

   A.    MENGENALI DIRI SENDIRI
Where there is a will, there is a way. (Dimana ada kemauan, disitu ada jalan).

Keterpurukan Bukan Akhir dari Segalanya

Jika Anda mau menerima kegagalan dan belajar darinya, jika Anda mau menganggap kegagalan merupakan sebuah karunia yg tersembunyi dan bangkit kembali, maka Anda memiliki potensi menggunakan salah satu sumber kekuatan paling hebat untuk meraih kesuksesan.” ~ Joseph Sugarman
Kesuksesan mereka bukan semata-mata dipengaruhi oleh faktor pendidikan ataupun modal, apalagi faktor kebetulan. Mereka berhasil lantaran kekuatan dan kecerdasan mereka menghadapi tantangan kehidupan. Menurut Paul G. Stoltz, Phd, dalam bukunya berjudul Adversity Quotient (AQ), ada tiga tipe manusia dalam analogi mendaki gunung:

1. Quitters – orang-orang yang mudah menyerah, sehingga kehidupan mereka semakin terpuruk dalam kemalangan.
2. Campers – orang-orang yang mudah puas dengan apa yang sudah dicapai, sehingga kehidupan mereka biasa-biasa saja.
3. Climbers – orang-orang yang selalu optimis, berpikir positif dan terus bersemangat kerja sampai benar-benar mendapatkan yang mereka inginkan.

Contoh dari tipe orang ke tiga adalah orang-orang yang sukses di dunia ini. Selalu memanfaatkan kesempatan untuk maju dan pulih dari keterpurukan adalah ciri khas mereka yang utama. Tak mengherankan jika mereka melalui setiap rintangan dengan tabah, berjuang keras, dan mental yang kuat.
Siapa tak kenal Napoleon Bonaparte? Dialah salah satu pemimpin militer paling cerdas daam sejarah. Prestasinya mulai diperhatikan orag sejak tahun 1793 ketika ia memimpin serangan terhadap Inggris yang menduduki pelabuhan di Toulon. Pada tahun 1795 ia mngakhiri pemberontakan di Paris dan pasukannya menang di Italia. Pada tahun 1799 ia menjadi penguasa dengan bantuan pasukannya, ia mengangkat dirinya sebagai Konsul Pertama (satu dari tiga pemimpin tertinggi Prancis pada tahun 1799 - 1804) dan memlihkan pemerintahan yang kacau akibat Revolusi Prancis. Pada sebuah upacara mewah (tahun 1804) Napoleon Bonaparte menobatkan diri sebagai Kaisar Prancis. Ia melakukan perubahan sosial, meletakkan dasar bagi sistem hukum, pendidikan dan keuangan. Puncak kekuasaaannya adalah ketika pada tahun 1812 Napoleon memerintah Eropa dari Baltik hingga selatan Roma. Kaum kerabatnya memerintah Spanyol, Italia, serta sebagian Jerman. Sebagian Swiss dan Polandia juga dikuasai Prancis. Sementara, Denmark, Austria, dan Prusia menjadi sekutunya. Sayang sekali, kekaisaran Napoleon Bonaparte harus berakhir dengan kekalahannya dari Inggris dan Prusia di Pertempuran Waterloo pada pada tahun 1815 yang berakibat pada pengasingan terhadap Napoleon Bonaparte ke Pulau Elba di Atlantik Selatan.
Namun, kekalahan dan keterpurukan ini bagi Napoleon bukanlah akhir dari segalanya. Dari pengasingannya, ia masih sempat mengirim beberapa pesan yang menggambarkan kecintaannya pada negaranya.
Kisah sukses Napoleon tentu tidak datang begitu saja. Ada satu cerita menarik yang menarik yang mungkin luput dari perhatian orang, yakni tentang masa kecil Napoleon Bonaparte ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah ia selalu menyempaykan diri mampir ke barak tentara, seiring dengan cita-citanya yang sangat menggebu untuk menjadi seorang tentara. Di barak itu, keperluannya hanyalah untuk menukarkan bekal sekolahnya dengan ransum jatah tentara. Alasannya sungguh sederhana; kalau mau jadi tentara, dirinya harus membiasakan diri makan ransum tentara. Sebuah keajaiban tekad yang hanya dimiliki oleh segelintir manusia, termasuk salah satunya adalah Jenderal Soedirman yang meski menderita sakit parah, tetap semangat memimpin perang gerilya dari atas tandu. Komitmen Jenderal Soedirman tidak pernah luntur. Ia teguh bertahan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Kondisi fisiknya yang lemah tidak menghalanginya untuk tetap menyusun kekuatan mengusir musuh. Inilah salah satu kualitasnya yang menjadikan dirinya sebagai sosok yang selalu dihormati dan dipercaya rakyat.
Perasaan kalah, terpuruk, tersingkir dan menderita adalah sisilain dari kehidupan manusia. Berbeda dengan “keajaiban tekad” yang tidak dialami oleh semua orang, perasaan terpuruk, tersingkir, atau menderita justru paling sering dialami manusia. Sebagai contoh, tahun 1980. Saat itu usia saya sekitar 50 tahun dan sedang semangat-semangatnya memperkenalkan istilah ketahanan pribadi dan pendekatan bottom up di Lemhannas. Respons yang saya terima ternyata tidak semuanya positif. Sebagian respons justru bersifat menyerang dan menuduh saya sedang ingin menyebarkan individualisme. Di mata mereka, di Indonesia jangan pernah berbicara tentang pribadi, tetapi lebih baik lewat sudut pandang keluarga.
Saya merasa sendiri dan seolah dipojokkan. Akan tetapi, saya tidak begitu saja menyerah. Sebaliknya, saya mencoba “menangkis” atau mempertahankan pendapat dengan mengajukan argumentasi bahwa dalam ajaran Pancasila juga dikenal adanya makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau kita juga melakukan pembinaan terhadap ketiga hal tersebut. Bahkan, saya coba menyakinkan bahwa apabila seseorang menjadi makhluk individu yang baik dan dengan demikian juga akan menjadi makhluk Tuhan yang lebih baik. Bukankah dalam agama Islam, misalnya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan soal ibda’binafsika, yaitu mulailah dari dirimu sendiri dan selanjutnya keluargamu, begitu seterusnya – sebuah ajaran yang tanpa saya sadari rupanya telah menginspirasi saya dalam memperkenalkan konsep pendekatan bottom up.
Pengalaman terpuruk juga pernah saya alami pada usia yang lebih muda lagi, yang dipicu oleh perbuatan saya saat baru pulang dari bersekolah di Belanda. Sebagai orang muda, saya menjadi terlalu percaya diri karena merasa telah mendapatkan pengetahuan yang cukup baik, atau katakanlah saya menjadi “sombong” dalam level yang paling rendah. Dalam pertumbuhan kehidupan pribadi, saya mengarah menjadi seorang yang suka menyendiri dan tidak ingin berkelompok karena bertekad menerapkan segala yang saya peroleh dan alami di luar negeri. Jiwa muda saya bergelora ingin membuktikan “kehebatan” diri dengan cara bertekad melaksanakan tugas-tugas yang diberikan sesempurna mungkin. Begitu kuatnya tekad ini – dan barangkali juga didukung oleh kehidupan Barat yang meskipun baru beberapa tahun saya kenal, tetapi agaknya benar-benar sudah menyatu dalam diri saya – sehingga saya sempat tidak menyadari bahwa ada langkah saya yang tercela: terperosok dalam suatu “hubungan” dengan seorang istri dari seorang perwira menengah.
Akan tetapi, hubungan ini bukan terjadi lantaran dipicu oleh hawa nafsu, melainkan oleh faktor ingin terlihat “hebat” dan “sempurna” sebagai pembela keadilan. Saya ingin menjadi “pahlawan” dan membela wanita tersebut, yang kabarnya menderita penyakit tak tersembuhkan sehingga tidak mungkin mempunyai anak dan merasa diperlakukan tidak baik. Barangkali bisa dikatakan bahwa saat itu saya tergesa-gesa untuk dianggap sebagai seorang yang berkarisma. Be mine concerned about making others feel good about themselves than you are making them feel good about you (Lebih memerhatikan untuk mereka merasa nyaman dan penting tentang mereka sendiri dan tidak meminta mereka mendahulukan/memerhatikan kepentingan dan rasa nyaman kita), begitu kata Dan Reiland, Vice President of Leadership Development, INJOY, tentang begaimana seseorang bisa memiliki karisma.
Semua orang bisa memiliki karisma asal ia mau mengenali diri sendiri dan mengembangkannya. John C. Maxwell mencatat setidaknya untuk bisa memiliki karisma seseorang hatus mampu:
1.      Mencintai kehidupan; orang yang lebih menyukai sosok yang bisa menikmati hidup daripada sosok yang bisanya hanya menggerutu, mencaci maki atau mudah putus asa.
2.      Menghargai orang lain; hal yang terbaik yang bisa kita dilakukan untuk orang lain adalah menghargai mereka. Cara ini sangat tidak merugikan kita, tetapi sangat menyenangkan bagi orang lain. Benjamin Disraeli, mantan Perdana Menteri Inggris, mengatakan, “Hal terbaik yang dapat Anda lakukan kepada orang lain bukanlah membagi kekayaan Anda, melainkan menunjukkan kekayaan mereka.”
3.      Membangkitkan harapan; harapan adalah milik semua orang. Jika kita bisa menjadi orang yang mampu membangkitkan harapanorang lain, mereka akan tertarik pada Anda dan mengidolakan Anda. Napoleon Bonaparte adalah contoh pemimpinyang mampu membangkitka harapan-harapan pada rakyatnya.
4.      Berbagi (sharing); seorang yang dengan sepenuh hati dansepenuh hidupnya mau berbegi dengan sesamanya, bila kelak menjadi pemimpin akan dicintai oleh pengikutnya.
Jika dikaitkan dengan peristiwa yang menimpa saya, maksud yang terdengar mulia itu berada pada waktu dan tempat yang tidak tepat sehingga justru menghadapkan saya pada Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Gatot Soebroto.Kepala Wakasad saya mengakui kesalahan saya dan mengatakan mengkin hal itu terjadi karena dorongan karakter yang sedang saya kembangkan, dan saya nersedia untuk diberhentikan dari dinas militer. Saya merasa terpuruk dan pasrah, seolah semua sudah berakhir. Namun, diluar dugaan, bukan pemecatan yang saya dapatkan, melainkan sebuah kesempatan untuk membuka mata dan wawasan secara lebih lebar: penugasan baru ke kota Malang. Mungkin saja ini memang sebuah “hukuman”, tetapi juga merupakan cara seorang komandan atau atasan mendidik saya untuk maju melangkah ke depan dengan cara membuka mata saya dan menggunakan nalar. Dan situlah saya menjadi semakin yakin bahwa keterpurukan belum tentu akhir dari segalanya.
Sebagai sebuah bangsa, kita tentu pernah mengalami keterpurukan secara kolektif. Misalnya, dengan terjadinya krisis moneter dan dan ekonomi (tahun 1997) yang berlanjut dengan Kerusuhan Mei 1998 serta bencana alam tsunami yang melanda Aceh dan Sumatra Utara (tahun 2005). Terhadap kedua peristiwa tersebut, kita sangat tersentak dan tidak siap menghadapi kedatangannya dan seolah itu adalah akhir dari segalanya. Krisis moneter dan ekonomi, misalnya, membuat kita kalang kabut, bingung menghadapinya, dan menjadi sangat lambat untuk berusaha bangkit kembali.akibatnya, krisis terus berkembang dan menjadi krisis multidimensi yang berkepanjangan. Perilaku yang kemudian menonjol adalah  perilaku saling menghujat, saling menyalahkan, dan saling mengelak dari tanggung jawab, seolah kita sedang kembali memberlakukan hukum “siapa kuat, ia yang menang”. Keadaan bangsa kita saat itu sungguh-sungguh sedang pudar, redup, untuk tidak “kehilangan” jati diri.
Mungkinkah jati diri bangsa akan hilang? Tidak sepenuhnya demikian sebab jati diri itu tetap ada pada diri manusia dan tidak akan pernah pergi. Sesungguhnya, yang sedang terjadi adalah memudarkan jati diri karena tertutupnya mata hati manusia sebagai akibat dari perilaku manusia yang lebih mengedepankan prinsip homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lain) tadi – mumpung ada kesempatan!

Jangan Biarkan Kesempatan Berlalu

Kesempatan (dalam arti positif) memang tidak selayaknya dibiarkan lewat begitu saja. Tak heran, bila lantas muncul kata bijak “kesempatan tidak akan datang dua kali”. Banyak pengalaman manusia yang membuktikan kesahihan kata bujak tersebut. Charlie Chaplin misalnya, nama dan kepopuleran anak seorang pemain musik ini tentu tak akan pernah mendunia bila ia menyia-nyiakan begitu saja kesempatan yang ada. Setelah jatuh-bangun hidup sebagai anak jalanan, pada tahun 1914 ia diterima bekerja pada Mack Sennett di Keystone Studios di Holliwood. Di studio itu, ia bekerja keras sebagai aktor, penulis naskah, dan sutradara. Hailnya sungguh luar biasa, dalam kurun satu tahun pertama, ia telah menghasilkan 35 film. Sejak saat itu, Charlie Chaplin yang semula “bukan siapa-siapa” berubah mrnjadi seorang entertainer kondang yang namanya masih dikenal hingga hari ini.
Tiap orang tentu punya pengalaman dalam menghadapi sebuah tantangan/kesempatan. Kebanyakan orang mengawalinya dengan sebuah keragu-raguan; kesempatan itu diambil atau tidak. Ditimbang, mungkin didiskusikan dengan orang dekat lebih dulu, setelah itu baru diputuskan. Akan tetapi, tak sedikit yang tanpa ragu-ragu langsung mengmbil kesempatan atau tantangan itu.         
Saya punya cerita tentang hal ini. Teman-teman semasa SMA Boedi Oetomo (tahun 1950) ternyata banyak yang mendapatkan kesempatan sekolah ke luar negeri. Setamat SMA saya sempat hampir 1 tahun mengikuti kuliah di Fakultas Kedokteran. Saat itu masa perang revolusi, tetapi sebagai seorang pemuda Indonesia, saya tidak sempat ikut mengalaminya secara fisik. Saya hanya sempat bergabung dengan kelompok Palang Merah Indonesia, membantu teman-teman yang melakukan gerakan bawah tanah. Ketuanya, Dr. Soekoyo, paman saya sendiri.
Kebetulan, pada saat itu di kampus ada pengumuman semacam beasiswa untuk bersekolah di KMA (Koninkljke Militaire Academie) di Breda, Belanda. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya mendaftar dan dinyatakan lulus tes – satu di antara 27 orang calon lain. Beasiswa ini diberikan karena pendidikan Akademi Militer (Akmil) di Yogyakarta ditutup sejak tahun 1949/1950. Padahal secara kontinue negara kita membutuhkan pembentukan perwira-perwira baru. Itulah sebabnya, selama dalam kevakuman itu, Pemerintah mengirinkan calon perwiranya ke negeri Belanda sambil menunggu Akademi Militer di Yogyakarta dibuka kembali. Ternyata barulah pada tahun 1958/1959 Akademi Teknik Angkatan Darat (Bandung) dibuka, dan selanjutnya Akmil di Magelang. Pengiriman pendidikan calon perwira ke KMA pun dihentikan.
Tekad saya pun semakin bulat untuk melakukan upaya dalam meningkatkan harkat dam martabat diri pribadi dan keluarga. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan bersekolah menjadi tentara ini sebagai sesuatu yang sia-sia. Buat saya ini merupakan kesempatan, di samping ingin meringankan beban orang tua dan semacam untuk “menutup” kekurangan yang saya rasakan karena tidak bisa mengikuti perjuangan secara fisik. Dengan menjadi perwira, saya berharap bisa berbuat banyak untuk bangsa dan negara.
Pada awal pertumbuhan, saya akui, secarakejiwaan saya bisa dikatakan sebagai seorang yang individualis. Namun, setelah saya amati, rupanya sifat yang rata-rata sama juga bisa ditemui pada teman-teman yang diberangkatkan ke KMA. Agaknya, itu menjadi salah satu persyaratan dalam pemilihan calon yang akan dikirim ke Negei Belanda. Bukan soal individualisnya, tetapi lebih dilihat pada adanya kepribadian dan pendirian yang kuat. Oleh karena, sepulangnya dari Belanda kami harus tetap menjadi perwira Indonesia yang mempunyai pendidikan dari Negeri Belanda, bukan berubah menjadi perwira Belanda berkulit Indonesia.
Semasa bersekolah di KMA (1951 – 1955), sebagaimana layaknya seorang pemuda, saya sudah memfokuskan niat untuk menjadi seorang perwira, dan ingin melakukan segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Di tempat ini saya menemukan idola, yaitu seorang perwira yang di mata saya mencerminkan sosok yang cerdas, pandai, mempunyai sikap dan pendirian yang jelas, berbudi pekerti, ramah, tamah, dengan penampilan tegar, rapi, sorot mat tajam-bersahabat, dan selalu menunjukkan sifat sopan santun. Itulah pribadi seorag perwira sejati yang ada di benak saya, meskipun pada praktiknya (sekembalinya saya dari Negeri Belanda) saya sering mendapati perbedaan mencolok antara yang saya pelajari di sekolah dan kenyataan, sebagai akibat adanya keterbatasan kita.
Hikmah yang bisa saya petik dari pengalaman ini adalah bahwa seandainya waktu itu saya bimbang atau ragu-ragu untuk mengambil kesempatan yang ada, barangkali cerita jalan hidup saya akan lain. Terus terang, saya memang tipe orang yang mempunyai kemauan keras, dalam arti, kalu sudah punya tekad, tak seorang pun dapat menghalanginya. Tampaknya, justru orang dengan tipe seperti inilah yang diprioritaskan dalam program beasiswa tersebut. Kesempatan memang selalu datang pada waktu yang tidak pernah bisa diduga sebelumnya.

Kompetensi dan Karakter: Rahasia Profesionalisme

Bertindak atau bekerja secara profesional adalah tuntutan yang selalu ada dalam bidang apa pun. Menjadi seorang profesional tidak disyaratkan oleh tingkat pendidikan tertentu sebab profesionalisme tidak ditentukan oleh tingginya pendidikan yang diperoleh seseorang, melainkan oleh kompetensi dan karakter yang dimilikinya, yaitu usaha yang dilandasi dan dituntun oleh nilai-nilai keberanian, semangat, dan pengabdian sejati. Mewujudkan usaha semacam ini tidaklah gampang sebab pada dasarnya, manusia dikuasai oleh nafsu-nafsu rendah dan kelemahan-kelemahan pribadi, yang bila tidak dituntun oleh kebenaran akan selalu cenderung takut, tidak bersemangat dan tidak berdedikasi tinggi.
Dalam jagat pewayangan, semua kesatria yang baik selalu digambarkan berusaha untuk menjadi manusia yang berani, bersemangat dan berdedikasi tinggi. Akan tetapi, kelemahan-kelemahan manusia juga tidak bisa lepas dari mereka sehingga menggerogoti ketahanan pribadi mereka. Tokoh Batara Guru dan Kresna, misalnya, selain menjadi tokoh anutan juga digambarkan kadang-kadang tidak berani melawan kehendak anak-anak mereka untuk mendapatkan wahyu. Bhisma adalah manusia suci, tetapi ia tidak memiliki keberanian, semangat, dan dedikasi untuk melarang para Kurawa meneruskan niat jahat mereka menghancurkan pandawa.
Dalam dunia bisnis ada yang mengatakan bahwa propesionalisme dapat dikatakan secara sederhana sebagai mengerjakan pekerjaan secara tuntas. Benar, pekerjaan memang harus diselesaikan secara tuntas. Namun, perlu digarisbawahi bahwa tuntas dapat terwujud cukup dengan pendekatan kompetensi. Disinilah perlunya dipadukan antara kompetensi dengan karakter. Bisnis juga tidak harus melulu berorientasi pada mencari profit saja, tetapi seharusnya juga bermanfaat bagi lingkungan (sesama, bangsa, dan negara). Melahirkan dan menyembunyikan uang di luar negeri juga dapat disebut tuntas. Kalau tuntas hanya sebatas “tuntas” belakang, para koruptorpun bisa dikatakan bekerja secara tuntas, yaitu memanfaatkan seluruh hasil korupsinya untuk pribadinya tanpa sisa. Oleh karena itu, pemahaman saya tentang profesionalisme adalah dipadukanya kompetensi dan karakter, yang bahkan disempurnakan dengan tuntutan Ilahi untuk menunjukan adanya tanggung jawab moral.
Ketahanan pribadi adalah salah satu pokok pikiran yang pernah saya kembangkan. Kebetulan saat itu saya berada disuatu posisi yang memungkinkan saya untuk leluasa mengembangkan pemikiran tersebut, yakni sebagai ketua kelompok kerja ketahanan nasional. Ada suatu peristiwa yang memacu saya untuk mewujudkan pemikiran tentang ketahanan pribadi tersebut. Peristiwa ini berlangsung pada sekitar tahun 1980-an tatkala saya mengadakan kunjungan ke Pulau Galang yang pada waktu itu dihuni oleh para boatmen, yaitu orang-orang perahu, pelarian dari Vietnam yang berlabu secara liar dipantai sekitar Pulau Galang. Keberadaan mereka disana semacam dilokalisir sebelum ada keputusan akan dikembalikan ke Vietnam atau dikirim ke negara lain yang mau menampung mereka.
Dalam kunjungan itu, disuatu barak saya melihat dan berdialog dengan sekelompok orang Vietnam yang kurang lebih baru satu minggu berada disana. Meskipun demikian, mereka telah mampu mengorganisir dirinya dengan rapi, tercermin dari betapa rapinya barak yang mereka tinggali, menyerupai sebuah barak militer. Di sana saya juga melihat ada sekelompok anak yang sedang diberi pelajaran oelh seorang guru wanita yang masih muda. Satu hal yang inggin saya tekankan disini adalah bahwa meski nasib mereka saat itu tidak jelas, sorot mata mereka begitu tajam menunjukkan rasa percaya diri dan karakter yang kuat. Padalah sewaktu meninggalkan Vietnam mereka tidak pernah tau akan kemana, selamat atau tidak, atau akan adakah negara yang mau menerima mereka. Sorot mata mereka tidak menunjukkan adanya rasa khawatr sedikit pun. Tentu, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka merupakan hasil tempaan perjuangan rakyat Vietnam sehingga orang-orang perahu sanggup bertahan tanpa patah semangat. Saya sempat berpikir, inikah yang disebut dengan karakter, daya dorong yang tetcermin dari dalam, sesuatu yang saat itu sedang kembangkan dengan istilah ketahanan pribadi.
Begitu pentingnya pemahaman tentang karakter dalam diri manusia sehingga masalah ini mendapatkan perhatian besar dalam sebagian karya-karya besar didunia, antara lain dari Stephen Covey (Seven Habits of Highly Effective People, Poor Richard’s Almanac), William Bennett (Book of Virtues, The Moral Compass), Laura Schlesinger (I Cant’ Believe You Did That: The Abdication of Courage, Character, and Compassion). Dalam karya-karya tersebut, para pengarangnya mengingatkan bahwa pada beberapa hukum dasar tentang peradaban manusia, kejujuran, keadilan, keluasan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian, dan kedermawanan merupakan kunci sukses untuk menjalani kehidupan ini. Character cannot be developed in ease and quite. Only through experience of trial an suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved (karakter tidak dapat dibangun dengan mudah dan santai. Hanya melalui pengalaman yang penuh percobaan dan pengorbanan hati dapat dikuatkan, visi dapat dijernihkan, ambisi tersemangati, dan sukses teraih), demikian dikatakan Helen Keller, seorang tokoh inspirasional yang komitmennya terhadap penyandang cacat ganda (bisu-tuli) tak diragukan lagi.
Pada mulanya Helen Keller bukanlah siapa-siapa. Ia hanya seorang gadis yan sejak usia 19 bulan menderita buta dan tuli. Beruntunglah, Helen Keller bukan seorang yang mudah putus asa. Ia selalu berlatih mengendalikan kemarahannya terhadap kecacatan yang dideritanya. Kecacatan dua pancaindra bukan penghalang baginya untuk mengenal dunia sekitarnya. Sebaliknya, ia justru mengoptimalkan kemampuan indra-indranya yang lain. Energi yang muncul dari rasa amarah disalurkannya dalam bentuk tulisan, kuliah, dan presentasi mengenai kondisi penderita cacat ganda seperti dirinya sehingga ia pun mendapat perhatian dunia. Dengan tekadnya yang kuat serta bantuan sahabat dan juga gurunya, Anne Sullivian, pada akhirnya ia berhasil menjadi seorang wanita yang memiliki karakter sangat kuat, bahkan meraih gelar akademik Ph.D pada usia 50 tahun.
Bila seorang Helen Keller yang menyandang cacat ganda bisa menjadi seorang yang berkarakter, tentunya orang-orang normal memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menjadi orang berkarakter. Apalagi, bila mereka mendapat tempat khusus, semisal pendidikan perwira. Inilah yang selalu saya impikan semasa menjabat sebagai komandan resimen taruna di Magelang pada sekitar tahun 1970-an. Saya berkeyakinan bahwa pendidikan perwira tidak mungkin berhasil bila tidak dibarengi dengan character  building dan pembentukan perwira yang bagus. Seorang pewira itu tidak boleh bodoh, tetapi seorang perwira yang pandai juga akan menjadi sumber malapetaka bila ternyata ia tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu, saya menganggap bahwa masalah pendidikan perwira, pembentukan perwira, pembangunan karakter sangat diperlukan-sehingga kepada para taruna saya tanamkan masalah duty-honor-country, yang merupakan motto dari akademi West Point (tidak ada salahnya belajar dari pengalaman orang lain). saya melihat bahwa bila kompetensi bisa dipadukan dengan karakter maka seorang akan mampu menyelesaikan tugas dengan tuntas (to accomplish the mission) atau yang biasa disebut professional.
Kompetensi bukanlah sesuatu yang bersifat given atau terberi, melainkan sesuatu yang bisa diusahakan penyemaiannya, antara lain dengan terus belajar, tumbuh dan berkembang atau dengan kata lain tidak mudah menyerah, putus asa, juga tidak gampang merasa puas. Orang-orang dengan kompetensi tinggi umumnya akan menjadi inspirasi bagi orang lain. Sementara, karakter yang bersumber pada jati diri manusia adalah sesuatu yang merupakan anugerah yang diberikan Yang Mahakuasa kepada setiap manusia yang dilahirkan ke dunia. Dengan kata lain, kompetensi menunjukkan tentang apa yang bisa dilakukan tiap orang, sedangkan karakter menunjukkan seperti apakah seseorang itu. Keduanya sangatlah penting, tetapi karakter sifatnya lebih fundamental, mendasar.

Perlunya Kontrol Diri Yang Kuat
Kontrol diri atau kendali diri adalah sikap mengendalikan pikiran dan tindakan agar tindakan kita sesuai dengan norma-norma yang benar.
Penampilan seseorang secara utuh dapat digambarkan sebagai suatu lingkaran yang di dalamnya terapat tiga lapisan. Lapisan yang paling luar menunjukkan kepribadian (yang juga berisi identitas dan temperamen), lapisan berikutnya adalah karakter, dan lapisan paling dalam adalah jati diri.Dalam penampilan sehari-sehari, yang tampak pada diri kita adalah kepribadian yang belum tentu mencerminkan karakter kita seseorang bisa tampak menarik, ramah, dan sopan, tetapi penampilan ini dapat direkayasa atau dibuat-buat. Sebagai contoh,seorang salesman memang dilatih untuk memilikietika persoanl (personality ethics ), tetapi ada kalanya ia menampilkan keasliannya yang jauh berbeda karena tidak berhasil mengontrol dirinya sendiri.
Itulah sebabnya, kita harus selalu mengupayakan dan meng intergrasikan karakter sebaik mungkin agar dapat melandasi kepribadian kita, melandasi setiap sikap dan perilaku kita. Sementara itu, lingkaran yang paling dalam ( jati diri ) akan memberi warna dalam totalitas penampilan kita. Seorang yang berjati diri akan mampu mengintegrasikan dengan baik kepribadian, karakter, dan jati dirinya dalam ucapan dan tindakannya, termasuk dalam bahasa tubuhnya.

                                                                                               Kepribadian
                                                                                               Karakter
                                                                                               Jati Diri


Kita tentu ingat bahwa kita pernah mempunyai seorang atlet bulu tangkis yang andal, rudy hartono, yang salah satu prestasinya yang sungguh mencengangkan dunia, adalah meraih rekor delapan kali menjadi juara ALL England. Dunia layak kagum sebab, bagai manapun, mempertahankan prestasi jelas lebih berat dari pada saat meraih prestasi itu untuk pertama kalinya apalagi mempertahankannya hingga delapan kali ditingkat internasional.
Jelas, dalam ha ini, mengandalkan bakat saja tidak cukup. Di situ saja harus ada perjuangan, tekad yang besar, kemauanyang keras, serta Dorongan dari orang lain. Rudy hartono memahami itu semua. Bahkan kabarnya, semangat berkompetisi sudah tumbuh sejak dirinya masih di bangku sekolah pada waktu itu, ia bercita-cita menjadi juara dunia. Menurutnya, posisi juara itu tidak bisa di capai oleh sembarangan orang, hanya ada satu orang. Kalau di sebut juara kedua baginya itu bukanlah juara lagi karena istilah yang berlaku adalah champion atau winner untuk sang juara dan runner up untuk juara keduanya.
Kesetiaan rudy hartono pada perjuangan, tekad, dan kemauan adalah modal utamanya untuk meraih sukses. Ia punya mental juara, yang tidak menyerah begitu saja dalam kondisi dan situasi apa pun selain itu, semangatnya pun tidak pernah lemah meskipun dirinya sudah menjadi juara kaliber dunia. Itulah contoh sebuah kontrol dari yang kuat, yang seyioginya dimilki oleh setiap pribadi yang berkarakte.
Terus terang, sepulang dari belanda kehidupan saya cenderung kebarat-baratan. Sedikit lagi saya lengah dan kehilangan kontrol diri, barangkali saya sudah terjerumus  pada hal-hal yang tidak lagi baik dan selesailah hidup saya. Dalam perenungan pribadi dikemudian hari, saya menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena saya terlalu ingin mengedepankan rasio dan mengutamakan IQ serta ego yang sangat kuat- dan itu berlangsung hingga usia saya memasuki 40 tahun. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa seandainya ada yang bisa “ mengendalikan “ saya sejak awal atau ada yang bisa mengerjakan kepada saya atau saya telah menemukan bacaan yang tepat, saya tidak perlu menunggu hingga usia 40 tahun untuk berhenti mengedepankan IQ belaka.
Atas dasar pengalaman itu maka saya merasa buku ini bisa menjadi semacam”alarm” pengingat bahwa di era globalisasi ini batas-batas negara semakin tiada batas (borderless) sehingga arus informasi dari satu negara ke negara semakin mudah dan tidak mungkin di bendung. Infiltrasi budaya dari satu negara ke negaraa lain semakin di permudah dengan adanya siaran televisi dari berbagai penjuru dunia selama 24 jam nonstop.saya membayangkan, betapa generasi muda saatini sebenarnya memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan semasa saya muda dahulu. Dengan demikian, kontrol diri yang harus dimiliki oleh generasi sekarang jauh lebih besar. Itu tidak gampag.
Dalam uraian helen keller di katakan bahwa karakter tidak bisa dibangun dengan mudah dan santai. Saya mengalaminya sendiri, bagaimana saya harus jatuh bangun, terpelset, menjadi menjadi orang yang agak sombong , hingga saya mendapat “ teguran dari atas”. Bentuk “teguran” itu adalah saya harus menghadapi dan mengatasi perbedaan pendapat dengan alasan saya yang bersifat prinsipil, sementara posisi saya harus menyatakan pendapat yang dilandasi pada keyakinan sendiri. Untuk mendapatkan jawaban, saya melakukan hubungan langsung dengan tuhan, saya seolah diberi petunjuk oleh-Nya ( saat itu saya belum mengenal cara shalat tahajud) .
Saya belajar mengambil suatu keputusan dan mencoba mempelajarinya masalah yang saya hadapi, meskipun waktu itu teorinya pun belum saya mengerti bahwa kepemimpinan mliter merupakan kombinasi yang potensial antara strategi dan karakter. Ibaratnya, ketika saya harus memilih satu di antara dua, karakter atau karier, saya bersyukur  mempunyai keyakina untuk memilih karakter,. Saya berani menolak perintah atasan yang meminta saya melakukan sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan- meskipun akibatnya saya harus dicopot dari jabatan, itulah pilihan saya, dan saya tahu bahwa pilihan itu menunjukkan  saya sebagai orang yang ingin teguh memegang pendirian, mempertahankan sesuatu yang diyakini baik dan benar.
Pengalaman ini akhirnya saya posisikan sebagai salah satu bagian dari membangun karakter saya. Sebagai mana ceritakan, sambil menunggu keputusan, segala fasilitas saya diambil, saya dikucilkan dan tidak boleh ditemui orang. Saya di magelang, sedangkanistri dan anak di bandung. Sewaktu minta izin ke bandung, saya diizinkan dengan satu persyaratan; saya tidak boleh menceritakan masalah ini kepada siapa pun. Saya penuhi permintaan itu meskipun dengan sanagat berat hati karena bandung merupakan pusat kesenjatan saya, pusat artileri, dan tentu saja banyak teman saya yang tahu bahwa saya sedang punya masalah, tetapi tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Saat-saat itulah saya gunakan untuk merenung dan melakukan kontemplasi.
Saya benar-benar merasa sendirian. Sebagai seorang yang sedang dalam posisi dikucilkan, tak heran bila orang lain pun merasa perlu berpikir dua-tiga kali untuk menemui saya. Saya pasrah  dan hanya kepada tuhan lah saya berserah diri. Akan tetapi, saya tetap konsisten menepati janji untuk tidak bicara pada orang lain sehingga tidak seorang pun tahu permasalahan saya.
Dengan segala kesabaran, saya jalani hidup saya hingga suatu saat saat bertemu dengan Mayor Jendral Leo Lopulisayang saat itu menjabat sebagai Asisten Operasi KSAD, sebagai orang yang kenal dekat dengan saya, ia menyesalkan mengapa saya tidak pernah menyampaikan hal ini pada teman-teman atau kepadanya. Saya hanya katakan bahwa saya tidak menceritakannya karena ingin menepati janji, pertemuan itu terjadi sesaat setaelah masalah saya selesai disidangkan di staf umum AD penyelesaiaan masalah tersebut di awali dengan memberi kesempatan kepada saya untuk membuat surat kepada staf Angkatan Darat ( KSAD) dan KSAD lalu membentuk  semacam dewan kehormatan perwira ( yang terdiri atas sembilan orang, yaitu delapan orang jendral dan satu orang kolonel sebagai sekretaris: pangkat saya waktu itu Letnan Kolonel ).
Tiga tahun lamanya saya teguh memegang janji untuk tidak bicara pada siapa pun. Dalam hati saya merasa sedang di uji tentang apa yang selalu saya ajarkan pada anak didik atau anak buah, yaitu apabila kita mendapatkan perintah, meskipun tidak ada yang mengawasi, jalankanlah perintah itu dengan sungguh-sungguh. Tidak mudah dipraktikkan, tetapi kenikmatanlah yang akan kita peroleh karena kita yakin bahwa kebenaran dapat membawa hasil yang baik.
Dalam salah satu kuliah yang saya berikan di Lemhannas, salah satu peserta (direktur dari suatu departemen) yang usianya sudah hampir 50 tahun mengatakan, “Pak, Bapak mengajar begini apa tidak sebaiknya untuk murid-murid SMA dan anak-anak yang belum ‘jadi orang’? Sebab, kalau untuk orang yang sudah jadi, sudah terbentuk seperti kita ini, sudah sulit untuk diubah.”
Spontan saya menjawab, “Pak, berubah dalam rangka memperbaiki karakter ibarat Bapak berniat memperbaiki diri. Secara teori, dikatakan bahwa yang sulit diubah adalah temperamen, sedangkan karakter walau sulit masih bisa diubah asal kita mau. Sama halnya dengan kita berbuat dosa dan minta ampun kepada Tuhan, lalu Tuhan mengabulkan permohonan kita.”
Konsepnya sama, terjadi perubahan dari orang yang semula tidak baik menjadi orang yang baik. Inti yang ingin saya sampaikan adalah selama kita masih hidup, kita masih bisa berubah menjadi lebih baik, sepanjang kita mempunyai hasrat untuk berubah.
Itulah yang saya rasakan sebagai refleksi empiris karena memang apa yang ingin saya tularkan adalah bagian-bagian dari hidup saya yang bisa menjadi semacam “laboratorium” yang sudah terbukti kebenarannya. Ini merupakan bagian dari transformasi tata nilai yang saya harapkan dapat diwujudkan melalui buku ini. Saya tergolong orang yang kehidupan beragamanya tidak terlalu menonjol, tetapi saya merasakan selama hidup selalu ingat Tuhan, terlebih waktu Ibu memberikan wasiat “sing eling lan aja dumeh” (selalu ingat pada Yang Mahakuasa dan jangan sampai lupa diri, di mana pun, kapan pun, dan saat memangku kedudukan apa pun).
Hubungan vertikal saya jadi lebih baik, di samping yang horizontal, dan saya bisa memadukan yang dalam istilah modern saat ini IQ, EQ, dan SQ.
Semua orang, kalau punya niat, dapat melakukan apa yang saya perbuat ini. Bahkan, kalau pada dasarnya orangnya sudah baik dari semula, lingkungannya juga baik, orang tua baik, tidak perlu mengalami jatuh bangun seperti saya, tetapi tinggal meningkatkan saja. Itulah alasan utama mengapa buku ini berjudul Hasrat untuk Berubah (The Willingness To Change): membangun karakter adalah proses yang tak kunjung selesai.

Melakukan “Learning by Doing” (Belajar sambil Mengerjakan)

Semua orang tentu pernah mengalami kegagalan, tetapi semua orang juga tidak berharap mengalaminya. Dengan kata lain, kegagalan adalah proses kehidupan, namun kehadirannya tidak pernah diharapkan oleh siapa pun, termasuk saya. Sepulang dari sekolah militer di Belanda, ssaya sempat bertugas di Manado dalam rangka operasi Permesta. Segala pengetahuan teknik militer yang saya dapatkan dari Negeri Belanda, saya coba praktikkan di lapangan dan memang banyak hal yang saya bisa lakukan sebagai perwira artileri medan.
Sehari sebelum saya bertemu dengan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, saya sempat dijamu di rumah Jenderal Gatot Subroto untuk makan pagi bersama keluarganya. Pada kesempatan itulah, Jenderal Gatot Subroto mengatakan, “Marno, gini lho kalau mau memelihara keluarga yang rukun dan damai. Ini yang perlu kamu perhatikan.” Sifat kebapakan itulah yang sangat saya ingat dari sosok yang arif dan bijaksana itu.
Setibanya di Malang pada waktu itu saya ditempatkan di batalyon artileri Medan I ternyata ada satu Baterai B (Baterai adalah satu unit bagian dari batalyon yang beranggotakan ± 100 orang) yang sudah berangkat ke daerah operasi di Sulawesi Utara. Oleh karena suatu hal, saya diperintahkan menyusul Baterai yang sedang bertugas pada operasi itu dan menggantikan komandan Baterainya yang dipanggil pulang karena harus ikut pendidikan. Saya pun lalu didaratkan di Bitung, sebelum akhirnya dibawa ke Langoan, tempat Baterai yang akan saya gantikan komandannya. Selepas acara timbang terima, saya langsung mengambil oper pimpinan Baterai. Saya ingat sekali, malam itu juga saya mendapat perintah melakukan penembakan malam hari, sekaligus perintah agar pagi hari berikutnya pindah ke Kawangkoan. Tugas saya laksanakan.
Pagi harinya, setiba di Kawangkoan, kesan pertama saya, kota ini merupakan kota yang panjang. Saya mencari tempat untuk menempatkan Baterai saya, berikut 6 pucuk meriam 25 founder. Tempat itu saya temukan di ujung sebelah utara, di desa Talikuran. Di tempat itulah saya mendengar ada seorang pendeta yang semalam terkena tembakan dari Langoan. Saya segera tanggap, tidak salah lagi, itu adalah tembakan yang semalam dilancarkan oleh Baterai saya. Dengan segera saya berpikir bahwa saya harus berbuat sesuatu yang baik. Saya harus menunjukkan bahwa saya dating bukan untuk melawan rakyat, tetapi melawan Permesta yang berontak. Saya kemudian meminta seorang kurir untuk mengirim bunga serta ucapan permintaan maaf atas peristiwa yang menimpa pendetaa tersebut, sekaligus mendoakannya agar segera sembuh.
Apa yang saya lakukan ini rupanya didengar oleh masyarakat Kawangkoan dan sungguh di luar dugaan, suatu hari Minggu oleh gereja Kawangkoan saya diminta member semacam sambutan. Dengan senang hati saya menerima tawaran itu dan saya sampaikan apa yang betul-betul saya anggap bisa disampaikan. Saya menceritakan kisah Nabi Ibrahim yang punya keberanian menyatakan pada ayahnya bahwa sang ayah telah melakukan sesuatu yang tidak benar serta diajak untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Nabi Ibrahim bahkan menunjukkan jalan Tuhan sehingga ia sempat dibuang ke dalam api. Namun, karena ada di jalan yang benar, ia diselamatkan oleh Tuhan. Cerita ini saya gunakan sebagai kiasan bahwa di dalam hubungan keluarga pun bisa terjadi berbeda pendapat, tetapi kita tidak perlu takut selama berada di jalan yang lurus dan benar. Sasarannya, saya ingin mengatakan bahwa negara Republik Indonesia perlu ditegakkan dan apa yang dilakukan Permesta saya anggap tidak benar sehingga saya mengajak untuk tidak tergiur ikut-ikutan mengambil jalan yang keliru.
Sebagai seorang komandan artileri yang diperbantukan pada Resimen Tim Pertempuran (RTP) karena memiliki senjata berat saya membawa meriam 25 founder, sebagai senjata unggulan untuk membatu RTP melakukan operasi. Saya mendirikan P3 (Pusat Pimpinan Penembakan) sehingga sering dikunjungi komandan resimen untuk mendiskusikan bantuan yang bisa saya berikan sebagai seorang perwira artileri yang banyak diajar mengenai strategi, taktik, dan kemahiran menembak jarak jauh. Saya mencoba mempraktikkan apa yang saya pelajari di Negeri Belanda dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, satu hal yang dapat saya pelajari sebagai seorang muda yang berpangkat Letnan Satu adalah bagaimana saya bisa membina hubungan baik dengan pasukan melalui bintara yang menjabat sebagai SMI = Sersan Mayor Instruktur (istilah yang dipakai di Belanda adalah opper wacht meester). Saya berhasil mendekati sang bintara pelatih, Sersan Mayor Ragil, dan lewat ialah saya mencoba mengenali anak buah saya yang hampir 100 orang jumlahnya, satu per satu. Dengan cara demikian, saya langsung bisa memikat hati anak buah. Betapa saya sebagai orang muda dianggap mempunyai kepandaian. Kedekatan dengan anak buah inilah sesungguhnya yang mengawali karier saya.
Kejadian lain yang juga saya alami di Kawangkoan adalah upaya membungkam tembakan mortir lawan melalui perhitungan analisis kawah atau trechter analysis. Peristiwanya terjadi pada tanggal 17-19 Februari 1958, saat pasukan Permesta mengadakan serangan umum 3 hari di seluruh wilayah Sulawesi Utara. Mereka berusaha memotong jalur hubungan antara kota satu dan kota lainnya dengan cara menggali lubang. Akibatnya, hubungan antara Kawangkoan dan Tomohon terputus karena banyaknya lubang galian itu. Kami pun terpaksa membuat jembatan darurat Tomohon dengan Manado, Manado dengan kota di luar Manado sebelum ke Bitung. Di sela-sela membuat jembatan darurat itulah pasukan-pasukan kami diserang dari segala jurusan dan tidak bisa saling membantu.
Di Kawangkoan, sambil menyerang, mereka menjarah rumah-rumah penduduk. Saya lalu memerintahkan anak buah saya untuk memasang meriam di perempatan jalan raya Talikuran dan di jalan raya besar Manado Kawangkoan. Meriam saya hadapkan ke arah timur, arah datangnya serangan Permesta. Untuk memompa semangat juang anak buah, saya pekikkan kata-kata, “Kita tidak akan mundur, kalau perlu kita mati bersama meriam dalam pertempuran ini.” Sementara kepada beberapa anggota dari bintara BODM (Bintara Onderdistik Militer) yang terlihat sudah bersiap-siap mengungsi, saya keluarkan perintah, “Kita tidak akan keluar dari daerah ini, mati kita lakukan bersama meriam.”
Untuk menunjukkan “keberanian komandan”, saya lalu berdiri di tengah jalan di dekat meriam sambil berteriak, “Kita bertahan di tempat ini.” Anak buah saya tentu saja menjadi tegar melihat komandannya berdiri tegap tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut mati. Namun, semua itu saya lakukan dengan perhitungan supercermat. Tembakan gencar dari arah timur terlihat melewati atap-atap rumah sehingga dalam perhitungan saya, lintasan tembakan itu agak di atas kepala dan tidak akan mengenai saya bila berdiri. Meskipun demikian, dalam hati saya juga berpikir bahwa bukan tidak mungkin ada peluru nyasar. Namun, di sini saya belajar bahwa seorang komandan harus menunjukkan kepada anak buahnya, betapa pun ia mempunyai rasa takut, ia harus bisa menunjukkan bahwa ia tidak mempunyai rasa takut dan bersedia berada di depan. Itulah yang mungkin membuat hubungan saya dengan anak buah saya di Baterai B menjadi begitu erat dan bersama-sama ingin melakukan yang terbaik.
Pertempuran selama tiga hari berturut-turut menyebabkan persediaan amunisi makin menipis; tinggal untuk satu hari pertempuran lagi. Untunglah, secara mendadak pada tanggal 19 Februari 1958, datang berita dari Manado yang mengatakan bahwa Panglima Operasi memutuskan akan mengirim bantuan, termasuk amunisi untuk Kawangkoan.
Pada tanggal 19 Februari 1958 pagi, terlihat berpuluh-puluh truk bergerak dari Manado. Akan tetapi, apa yang sebenarnya terjadi? Konvoi itu sebetulnya hanya membawa pasukan yang sangat kecil, bahkan Panglima Operasi (Kolonel Moersid) berjalan di depan layaknya seorang komandan peleton, bukan sebagai seorang panglima. Sesampainya di desa Kiawa, sebelum masuk desa Kawangkoan, Panglima Operasi ingin melakukan hubungan radio dengan komando RTP di Kawangkoan, tetapi ia minta disambungkan dengan seorang yang bisa berbahasa Sunda karena bahasa Jawa mudah disadap oleh Permesta. Kebetulan yang bisa berbahasa Sunda hanya saya. Pesan rahasia yang dismapaikan adalah, “Tahan sampai besok dan besok saya akan masuk dengan membawa amunisi yang diperlukan.” Pesan tidak bocor ke telinga musuh sehingga ketika esok harinya pasukan datang, Permesta tetap mengira bahwa panglima dari Manado sengaja datang membawa bantuan pasukan yang besar.
Sehari menjelang peristiwa tersebut, saya mengalami kejadian yang sedikit ganjil. Sore itu, ketika sedang bersantai (karena pertempuran biasa terjadi di pagi hari), tiba-tiba saya mendapat laporan bahwa ada seorang anak buah yang kesurupan. Dalam keadaan kesurupan itu ia mengatakan ingin bertemu dengan komandan. Berhubung saya sedang tidak berada di tempat, ia dihadapi oleh wakil saya, Letnan Dua Suparman. Ketika Suparman mendatangi orang itu dan mengajaknya bersalaman, Suparman hamper terpental karena tangannya seperti terkena setrum aliran tegangan tinggi. Mendengar laporan tersebut, mau tak mau saya harus menunjukkan bahwa saya berani menghadapi anak buah yang kesurupan itu. Ketika sudah bertemu dengannya, saya langsung memegang tangannya. Tidak terjadi apa-apa. Orang itu lalu berbicara dalam bahasa daerah yang tidak saya kenal. Untunglah, di situ ada orang yang bisa menangkap apa yang dikatakannya dan menerjemahkannya untuk saya. Dikatakan bahwa Sulawesi Utara bisa dipertahankan jika kampong Talikuran tidak jatuh ke tangan musuh, Kawangkoan pun tidak jatuh ke tangan musuh. Kalau Kawangkoan tidak jatuh ke tangan musuh, Minahasa tidak akan jatuh ke tangan musuh. Kalau Minahasa tidak jatuh ke tangan musuh, Sulawesi Utara akan selamat.

Orang itu lalu menepuk-nepuk bahunya, mengisyaratkan akan terjaditerhadap bahu-bahu adalah tempat pangkat. Tentu isyarat ini ada kaitannya dengan suatu kehormatan. Saya langsung melaporkan peristiwa itu kepada komandan resimen dan ditanggapi secara serius. Saya dan Asisten Teritorial segera ditugaskan untuk menemui Hukum Besar (Camat) untuk menyampaikan pesan yang dikirim oleh anak buah yang kesurupan itu. Kalau dipikir-pikir, lucu juga sebenarnya. Di daerah Kawangkoan, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, masih kental kepercayaan semacam itu. Bahkan Ibu Sumampouw, Hukum Besar, langsung merencanakan untuk pergi ke makam salah satu keturunan Diponegoro yang dimakamkan di sana untuk mengambil tanaman dan menanamnya di pinggir kota. Maksudnya hendak memagari kota. Kami pun mengikuti apa yang dikatakan Ibu Hukum Besar. Saya, Asisten Teritorial, pasukan RTP, dan tentu saja tidak ketinggalan Ibu Hukum Besar, mengunjungi makam yang dimaksud. Kami memotong sejumlah tanaman dan membaca doa kata orang “pintar” yang ada di situ, ia mendengarkan para leluhur melihat apa yang sedang kami lakukan.

Kami pun lantas pergi ke arah utara, menuju batas desa Kiawa-pintu masuk ke Kawangkoan dari kota Tomoho-untuk menanam kembali tanaman yang tadi kami bawa dari makam. Penanaman dilakukan pada satu sisi jalan, kiri dan kanan jalan, lalu ditarik garis dari sisi kiri ke sis kanan sehingga menyerupai pagar. Hal yang sama juga kami lakukan di pintu masuk sebelah timur yang menuju Kinali, pintu masuk sebelah selatan yang menuju ke Tompaso, dan pintu masuk sebelah barat yang menuju ke Kayuui Amurang. Apa yang terjadi? Ternyata ketika terjadi serangan, kami berhasil menahan dan menggagalkanserangan itu. Mereka sudah masuk ke rumah-rumah penduduk di pinggir kota Kawangkoan, tetapi tidak mampu merebut kota Kawangkoan, meskipun kekuatan merea begitu besar. Di sisi lain, saya dan pasukan sudah bersiap siaga untuk melakukan pertempuran dengan tekad tidak meninggalkan tempat.

Pagi harinya, kedatangan Panglima Operasi disambut gegap gempita oleh seluruh rakyat. Tiba-tiba ada tembakan mortir yang diarahkan ke dalam kota Kawangkoan. Begitu tiba di tempat jatuhnya mortir itu, dari beberapa kawah yang ada, saya coba membuat analisis kawah, yaitu perhitungan dengan melihat kedalaman, sudut datangnya, melakukan interpolasi, dan sebagainya. Dari hasil analisis itulah, saya mendapat gambaran posisi asal tembakan dan segera saya perintahkan anak buah untuk membalas tembakan dan segera saya perintahkan anak buah untuk membalas tembakan ke arah  yang saya perkirakan. Tembakan mortir pun berhenti dan kami tidak lagi diganggu oleh gerombolan pemberontak itu.

Percaya-tidak percaya, apa yang pernah dikatakan oleh anak buah saya yang kesurupan itu benar-benar terjadi. Dengan berhasilnya mempertahankan daerah Talikuran (sebagai markas artileri), Kawangkoan sebagai markas komando RTP pun bisa dipertahankan, Minahasa bisa dipertahankan, dan Sulawesi Utara bisa diselamatkan. Apa yang sebetulnya terjadi? Pasuka Permesta yang mengepung Kawangkoan memutuskan mundur karena datangnya bala bantuan dari Manado. Komunikasi merek akurang baik dan RTP mengambil inisiatif untuk mengejar. Terjadilah apa yang disebut kipmoment (titik balik strategi; pasukan yang semula mengepung dan menyerang sekarang balik dikejar).

Tidak lama kemudian saya kembali ke pangkalan di Malang untuk beberapa waktu lamanya, sebelum akhirnya pada tahun 1959 ditugaskan kembali-tetapi kali ini ditempatkan di Tondano (kota kabupaten). Di sini, sesuai situasi saya melakukan suatu operasi teritorial untuk marginal lebih dekat kondisi kota Tondano. Salah satu kegiatan yang saya lakukan adalah berkenaan dengan beberapa keluarga yang punya hubungan keluarga dengan anggota-anggota Permesta. Hal ini perlu saya lakukan sebagai pendekatan kepada anak-anak mua setempat. Saya adakan beberapa acara, misalnya mengenalkan mereka dengan meriam yang saya bawa (meriam 76cm), bahkan sesekali saya adakan “joyride” (suatu acara santai untukmemperkenalkan cara menembak meriam yang bisa dilakukan oleh pengunjung/murid-murid sekolah) dengan cara member kesempatan pada mereka untuk menembakkan meriam dengan peluru hampa. Sebagai anak muda, tentu banyak di antara mereka yang tertarik dan bertekad untuk mendaftar menjadi perwira artileri selepas SMA.

Ada cerita yang terkait engan soal meriam. Selain meriam 76 yang saya bawa, Kodam operasi 13 Merdeka iperkuat oleh Baterai RL (Rocket Launcher) 32 dari Manado yang memiliki meriam roket yang bila ditembakkan akan menghancurleburkan seluas 400m x 400m dalam satu kali tembakan.
Dalam suatu operasi pengejaran, pasukan gabungan RTP mengambil posisi di sebelah utara bukit Soputan di sekitar Tomohon, sedangkan sasaran-gerombolan Permesta berada di puncak bukit dan di belakang bukit di daerah Remboken. Di antara mereka antara lain terdapat Alex Kawilarang dan lain-lain. kalau kami mengejar mereka, bisa dipastikan mereka akan lebih unggul mengingat posisi musuh ada di atas. Oleh, Karena itu, kepada komandan RTP saya sarankan untuk menggunakan daerah sekitar Tomohon sebagai posisi kami dan memanfaatkan kondisi topografi yang ada. Perhitungan saya, kondisi topografi sangat baik untuk membuat tembakan lintasan curam dan akan jatuh di seberang bukit dengan baik. Namun, meriam 76 tidak mempunyai kemampuan yang terlalu dahsyat untuk memorakporandakan pertahanan mereka sehingga kurang dapat diandalkan untuk membantu membuka jalan bagi pasukan RTP.

Pada penugasan kali ini, selain sebagai komandan Baterai, saya juga merangkap sebagai koordinator artileri Kodam. Tanggung jawab saya cukup besar. Malam hari saya berpikir keras, mencari taktik yang jitu untuk mematahkan pertahanan musuh. Pagi harinya, saya bangun pagi-pagi dan segera mengetik surat yang saya tujukan kepada panglima. Isisnya, melaporkan bahwa pasukan tidak mungkin maju bila hanya mengandalkan meriam 76. Saya katakana bahwa bila demikian kondisinya, tugas mengambil alih dan mengatasi pertahanan musuh tidak akan berhasil. Lalu saya sarankan kepada panglima agar bersedia memerintahkan pasukan Baterai RL 32 yang berada di Manado membantu operasi dengan meriam roket lonser yang mereka miliki.
Saya melapor kepada komandan RTP Lotkol Sampoerno tentang surat itu. Tak disangka, sang komandan justru menawarkan diri membawa surat itu untuk langsung diserahkan kepada panglima. Bayangkan, saya sebagai seorang Kapten (komandan Baterai),Menulis suart kepada seorang panglima ( Kolonel Soenandar Priyo Soedarmo) dan dibawa sendiri oleh komandan RTP (Letnan Kolonel Sampoerno). Padahal perjalanan yang harus ditempuh tidaklah mudah, selain kondisi jalan yang belum memadai, juga harus menghadapai hadangan permesta.
Menurut cerita yang saya dengar kemudian, saat surat saya sampai ke tangan penglima, panglima beserta staf sedang rapat dan belum berhasil membuat suatu keputusan apa pun. Surat saya lalu dibawa masuk ke dalam kamar, dan baru menjelang malam panglima memeruntahkan komandan RTP untuk memnbantu dengan roket lonser pasukan laras 32. Apa yang dilakukan panglima di dalam kamar ? kabaranya, di dalam kamar itu panglima seolah-olah sedang berbicara dengan Soekarno, “ Bung Karno. Mari dosanya kita tanggung bersama. Saya akan perintahkan meriam roket lonser pasukan laras 32 untuk membantu operasi kita di Tomohon”.
Disini saya ingat pelajaran saat di KMA, yaitu stlain pipe, roket lonser yang begitu keras bunyinya. Dalam pelajaran itu dikatakan bahwa stalin pipe pernah digunakan pasukan Rusia saat menembaki pasukan Jerman. Kekuatan stalin pipe ini juga saya rasakan pada saat roket lonser melakukan penembakan, mendengar desingan tembakan roket lonser bulu roma saya berdiri, padahal saya tidak tahu berapa besar korban di pihak musuh dan ke mana perginya sisa pasukan mereka : yang jelas, sejak itu pasukan musuh mengundurkan diri dari puncak gunung sehingga pasukan kami bisa maju dan melakukan pengejaran. Tidak berapa lama terdengar berita intelijen bahwa dengan pihak Permesta. Bahkan dikabarkan pula ada seorang ibu, Ibu Ari Supit, yang sedang sakit dan minta dibantu untuk dirawat di Tomohon. Permintaan itu pun saya penuhi, meskipun ia adalah istri dari kolonel artileri permesta ( Ari Supit).
Rupanya, dari sinilah hubungan antara intelijen dan permesta makin intens dan berakhir dengan kembalinya permesta ke pangkuan ibu pertiwi. Pada saat penerimaan kembali anggota permesta-yang juga dihadiri oleh Jenderal Nasution – saya bertemu dengan Ari Supit yang ternyata adalah seorang meneer Permesta. Dengan rasa hormat ia saya jamu di mesa saya di Tondano. Inilah pertemuan antara dua orang artileris yang pernah saling berseberangan. Akan tetapi, yang ada saat itu adalah sebuah jamuan yang penuh kehangatan.
Saya bersyukur, dalam menjalankan tugas, selain menguasai kemampuan teknis militer, saya juga menguasai operasi teritorial. Namun, yang tidak kalah penting adalah saya rupanya berhasil merebut hati masyarakat Kawangkoan dan Tondono— sesuatu yang tidak pernah diajarkan di KMA, tetapi saya pelajari sendiri sembari bertugas. Dalam hal ini, pesan Jenderal Gatot Soebroto agar saya “membuka mata hati” terjawab sudah. Bahwa seorang perwira harus bisa menjalani perannya. Dalam berperang, di samping memahami operasi teritorial sesuai dengan ajaran-ajaran perang gerilya, suatu satuan lawan gerilya dalam menghadapi gerilya tidak mungkin bisa hidup di suatu daerah tanpa bantuan rakyat setempat.
Pengalaman ini di satu pihak menjadi modal penambah keyakinan saya pada diri sendiri, meskipun di pihak lain saya mash belum siap melepaskan ego yang masih sangat tinggi. Saya pun lalu di tugaskan kembali di Cimahi ( 1968-1969) setelah ditugaskan sebagai Komandan Batalyon di Medan ( 1967) yang merupakan pusat kesenjataan artileri. Tahun 1970 saya mendapat tugas di Magelang, yang dengan segala usaha, akhirnya mendapat jabatan yang saya idam-idamkan, yang berhubungan langsung dengan taruna- membantu Gubernur AKABRI sebagai seorang komandan resimen taruna.
Pangkat saya masih kapten ketika sering mengajar di Akademi Militer. Oleh pihak Akademi Militer sebenarnya saya sudah diminta untuk menjadi pengajar tetap, tetapi dengan “ketus” saya katakan bahwa saya memang sangat ingin berada di Akademi Militer, tetapi setelah pangkat saya minimal Letnan Kolonel dan kedudukannya langsung bertanggung jawab pada taruna. Apa yang saya inginkan itu akhirnya berhasil saya capai, meskipun kemudian harus diwarnai dengan suatu kejadian yang sangat menyentak, yang menyebabkan saya harus diberhentikan dari  jabatan untuk dipensiun dini. Namun, peristiwa itu tidak begitu saja merontokkan semangat saya yang sedang membara untuk menularkan apa yang saya ketahui tentang bagaimana seorang perwira itu seharusnya (dan disini saya sebetulnya mulai berpikir tentang masalah character building). Saya berkeyakinan bahwa pendidikan perwira itu tidak mungkin kalau tidak dibarengi dengan character building dan pembentukan perwira yang bagus.

Percaya pada Takdir dan Berserah Diri pada Tuhan

Mengenal diri sendiri merupakan fondasi keberhasilan seseorang untuk mengembangkan karakternya. Oleh karena, dengan mengenal dan mengakui kekuatan, keunggulan, maupun kelemahan pribadi, seseorang akan mudah menerima orang lain apa adanya dan mengakui bahwa setiap individu terlahir dengan keunikan masing-masing. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sejak lahir setiap manusia sudah dibekali dengan keunikan sebagai pribadi, yaitu bahwa manusia itu sendiri dan mandiri karena masing-masing dibekali budi sendiri sehingga tahu apa yang dilakukannya dan mengapa melakukannya. Sebagai pribadi yang mandiri, berarti manusia mempunyai kemerdekaan untuk menentukan dan memutuskan sendiri apa yang akan diperbuat. Itulah keunggulan manusia dibandingkan dengan ciptaan tuhan yang lain, yang dengan berbekal kekuatan itu manusia akan selalu berkembang dan ia tidak pernah berhenti dalam ke –kini-anya.
Manusia sebagai wujud dalam keberadaannya selalu mencari jalan untuk mengaktualisasikan diri secara terus-menerus dan tidak sekedar dihanyutkan oleh realitas sekitanya. Kecenderungan manusia untuk terus-menerus berubah merupakan proses “menjadi”, sebagai proses terhadap pembentukan kepribadian, pembentukan kepribadian yang pada dasarnya merupakan proses pembentukan diri pribadi, tidak pernah bersifat terminal dan final. Sebagai ilustrasi, seseorang yang secara sadar ingin membentuk identitas pribadi baru dengan cara meninggalkan masa lalunya dan berusaha tampil dengan penampilan, sikap, dan perilaku baru, bila diamati secara saksama dan mendalam, tetap saja orang itu tidak dapat menghilangkan seluruh jejak-jejak masa lalunya. Misalnya, hidung seseorang bisa dibuat lebih mancung, dagu dibuat lebih lancip, dan rambut ditata lebih trendi, tetapi begitu ia berbicara yang keluar adalah suara aslinya atau ketika ia terkejut kelatahan yang muncul adalah kelatahan dirinya “yang lama”. Kenyataan ini membuktikan bahwa proses pembentukan diri pribadi bukanlah sebuah proses yang parsial, melainkan proses yang melibatkan manusia secara menyeluruh dalam rentang kesejahteraannya, termasuk seluruh pengolahan pengalamannya sebagai suatu proses interaksi.
Sesuai dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita mengakui bahwa manusia itu ada karena kehendak Tuhan Sang Pencipta, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan. Manusia adalah bagian dari totalitas umat manusia sehingga secara sadar manusia sebagai pribadi hanya dapat berkembang dalam keatuannya dengan sesamanya. Manusia sebagai pribadi tidak dapat hidup dan menghayati keberadaannya secara wajar, kecuali jika hidup berdampingan dengan sesama. Itulah berang kali yang mendasari lahirnya kepercayaan manusia tentang konsep lahir, jodoh, derajat, rezeki, dan mati yang sudah diatur oleh Sang Pencipta, atau dikenal dengan istilah takdir.
Takdir yang menyebabkan sesorang ada, takdir jugalah yang mempertemukan satu orang dengan orang lain—termasuk dalam hal ini soal jodoh, takdir yang menentukan hidup seseorang, dan takdir pula yang mencabut kembali kehidupan seseorang dari muka bumi. Sebagai contoh, hingga saat ini saya tidak pernah mampu memecahkan rahasia ilahi mengapa misalnya, ketika usia saya sekitar 27 tahun. Padahal, sebagai seorang pemuda yang memiliki pendidikan lumayan, masa muda saya sangat penuh warna dengan  pergaulan yang sangat luas. Bahkan, lima tahun setelah pertemuan pertama, saya hingga saat itu. Dialah penyempurna kehidupan saya karena selain sebagai istri, ia juga menjadi pendamping teman, dan penasihat saya.
Mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang sudah saya alami, kadang-kadang saya merasa bahwa seolah-olah hidup ini adalah rangkaian dari kebetulan-kebetulan. Akan tetapi, bila direnungkan lebih dalam, sebenarnya yang paling mengagumkan dari rangkaian kebtulan itu adalah Sang Maha Perancang yang telah mengatur semuanya dengan sangat sempurna. Semua ini adalah jalan Tuhan ada kalanya saya merenung, kenapa saya dulu harus ditugaskan ke Sulawesi Utara ? kenapa saya harus bertemu dengan gadis yang usianya terpaut jauh dari saya ? kenapa harus ia yang menjadi istri saya ? jawaban dari pertanyaan tersebut tidak serta merta dibeberkan, melainkan sedikit demi sedikit dibuka lewat perjalanan hidup.
Siapa yang menyangka misalnya, dalam soal meggunakan hati nurani, saya justru banyak belajar dari istri saya yang ternyata mempunyai kekuatan menngunakan hati nuraninya. Bermodalkan keceerdasan dalam berpikir dan kekuatan pribadi yang dimilkinya. Ia bukan hanya memerhatikan saya, tetapi juga gemar memerhatikan dan membantu orang lain.
Sebagai contoh, pada waktu mendengar akan ada suatu kelompok paduan suara anak muda “ Militia Christy” dari Tondono datang ke Jakarta untuk mnegikuti kompetisi paduan suara di Bandung (tahun 2005), istri saya spontan menyilangkan mereka tinggal di rumah kami. Ia begitu bangga pada anak-anak muda ini. Sebagian besar  dari mereka bukan berasal dari keluarga berada, tetapi dengan tekad yang membara, mereka berusaha bisa ikut kompetisi itu. Mereka belum pernah ke Jakarta dan uang saku yang merka miliki pun sangat tidak mencukupi untuk bisa tinggal lebih dari sepuluh hari di Jakarta, sampai-sampai mereka berikhtiar untuk makan dengan pola : pagi Supermie, siang Indomie malam Sarimi. Dalam rangka penghematan oleh karena itu, mereka sangat beryukur karena ada keluarga yang mau menampung mereka selama di Jakarta. Betapa saya terharu dan bangga menerima mereka. Terlebih lagi setelah mengetahui bahwa mereka berangkat tanpa dukungan sponsor mana pun. Untuk itu, agar rencana ini tidak gagal, mereka telah berusaha mengumpulkan uang sendiri selama satu tahun!
Saya sungguh bangga bisa bertemu denga generasi muda yang memilki tekad kuat seperti ini. Bukan hanya tekad, tetapi juga sudah menyadari bahwa masa depan ada di tangan mereka sendiri. Mereka merancangnya sendiri, diwujudkan dalam sebuah perencanaan yang sangat matang selama satu tahun. Dalam hal ini, keharuan saya adalah meraka belum pernah membaca buku-buku saya, tetapi mereka telah mempraktikkanya, khususnya tentang “ merancang nasib sendiri”, salah satu tema yang menjadi isi buku saya. Akhirnya, rasa syukur dan bangga saya cetuskan dalam sebuah diskusi tentang jati diri dan karakter.
Disinilah paling tidak kita bisa membuktikan bahwa lima hal yang tidak bisa lepas dari takdir adalah masalah lahir, derajat, jodoh, rezeki, dan mati. K.H.M. Quraish Shihab, dalam suatu pertemuan dengan teman-temanan di Yayasan Jati Diri Bangsa mangatakan bahwa takdir adalah suatu pilihan dan kita bisa memilih takdir itu. Sebagai contoh,kalu kita mau berlindung, ada beberapa pilihan tiang. Ada tiang yang rapuh, ting yang kuat, atau pohon yang rindang. Apabila pilihan jatuh pada tiang yang rapuh, lalu tiang itu patah dan kita bertimpa oleh segala yang ada di atas tiang itu, berarti kita telah memilih sendiri takdir kita.
Dari ilustrrasi tersebut, kita belajar bahwa beda antara manusia dan hewan terletak pada danya kebebasan untuk memilih, termasuk memilih takdir. Diskusi pun lalu berkembang dengan adanya pemikiran yang mengatakan bahwa takdir bisa berubah dengan kekuatan do’a. contoh yang diangkat adalah cerita Nabi Yunus yang setelah keluar dari perut ikan hiu, akhirnya terdampar dan pergi kesuatu desa bernama desa Niniwe, desa yang sebenarnya akan dibinasakan oleh Tuhan.akan tetapi, setelah Yunus meminta agar orang-orang bertobatda kembali pada jalan Tuhan, dan berkat doa yang intensif dari orang desa Niniwe Tuhan mengabulkan doa itu, sehingga itu tidak jadi dibinasakan.
Pelajaran yang bisa saya ambil disini adalah bahwa dalam hidup ini, kalu kita punya kiblat yang jelas, berarti kita tahu apa yang kita inginkanseperti kata Helen Keller, apabila kita ingin menempa diri untuk membentuk karakter secara sadar, jiwa kita akan dikuatkan, visi kita akan dijernihkan,ambisi atau cita – cita kita akan terinspirasi, dan sukses akan kita raih. Betapa karakter merupakan kunci utama untuk menjalani hidup pada umumnya, dan karir pada khususnya. Jika kita bicara tentang sukses sejati, hidup bermakna dan mendapat kebahagiaan ini dapat kita raih kalau secara sadar kita mau membangun karakter, menumbuhkembangkan jati diri karena jati diri adalah pemberian dari Tuhan Yng melekat, yang mengandung sifat – sifat ilahi.
Dengan demikian, penampilan yang berjati diri bisa disebut penampilan yang “pasti benar” karena bersumber dari sifat – sifat ilahi yang kita tumbuhkembangkan. Itulah sebabnya bila hati nurani sudah berbicara, bisa dipastikan bahwa itu adalah jawaban murni yang dapat kita rasakan. Meskipun demikian,kita tetap harus berhati –hati saat merenung karena adakalanya setan berusaha menggangu.
Dalam menjalani hidup, seharusnyalah kita menempa dan membangun karakter kita karena karakter akan memperkuat jiwa, menjernihkan visi dan rencan yang nyata. Tentu saja, kita harus istikomah. Dalam istilah sederhana,saya bersyukur semua yang saya ceritakan berdasarkan pada hal – hal yng byata dan semoga saya dapat menjalani dengan konsisten dan mendapatkan ridho –Nya. Dan berdasarkan pada ajaran agama mudah – mudahan kalau suatu saat saya dipangil Tuhan, saya benar – banar dalam keadaan khusnul khotimah.
Takdir bagi sebagian orang sebagai sesuatu yang berifat mutlak dan baku. Mengatakan “sudah suratan takdir” seolah merupakan permakluman bahwa dirinya tak lagi dapat berbuat lebih baik. Padahal, bagi mereka yang berpikir progresif, takdir bukanlah harga mati. Ada firman Allah yang mengatakan bahwa “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu kaum (bangsa) sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” {Q.S. Al-Rad (13) Ayat 1}. Bila dihayati, maknanya kurang lebih mengatakan bahwa nasib kita memang bergantung pada proses yang berawal dari pemkiran kita, sedangkan pemikiran mendapat umpan/pengarahan dari hati nurani  sehingga pemikiran yang bersih dan benar hanya diperoleh jika hati kita terbuka dan bersih.
Dengan kata lain, “memperbaiki atau mengubah nasib” ternyata bukanlah sesuatu yang mustahil, sejauh sesuai dengan izin (system yang ditetapkan Tuhan). Implementasinya, pemikiran kita akan menghasilkan tindakan → (menghasilkan) kebiasaan → (menghasilkan) watak/karakter → (menghasilkan) nasib. Dengan disertai doa, semoga Tuhan menjadikan nasib yang kita rancang itu danmenentukan sebagai takdir. Akan tetapi, untuk dapat memperbaiki nasib, salah satu hal yang wajib kita lakukan adalah terlebih dulu memperbaiki kehidupan beragama. Kita luruskan kehidupan beragama kita dengan menjalankan sikap dan perilaku sesuai dengan ajaran agama. Kita bersyukur bahwa Tuhan Maha Esa Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun sehingga setiap kali manusia salah melangkah, Tuhan selalu memberi peringatan sesuatu yang dikehendaki-Nya.
Tuhan juga pernah menegur saya dan itu menjadi semacam turning point (titik yang mengubah arah) dalam kehidupan saya. Teguran ini adalah seolah merupakan ujian sejauh mana saya bisa memegang prinsip hidup, meskipun taruhannya saat itu sangat berat: diberhentikan dari jabatan, bahkan masa pension saya dipercepat. Apabila pada waktu itu saya menganggap teguran tersebut sebagai takdir yang bersifat mutlak dan tak mungkin diubah, barang kali sejarah karier saya pun selesai saat ini juga.
Namun, keyakinan saya pada saat itu adalah bahwa Tuhan Maha tahu dan semasamasa percobaan itu saya melakukan komunikasi dengan Tuhan melalui perenungan atau kontemplasi. Hasilnya, keputusan pensiunan sini yang sudah keluar, ternyata diralat dan saya mendapatkan rehabilitasi sehingga dapat kembali bertugas.
Berkat pengalaman yang cukup pahit itulah saya lalu mencoba untuk bangkit dari keterpurukan dan terus berusaha mengingatkan harkat dan martabat diri pribadi dan keluarga. pengalaman saya semakin menegaskan bahwa seburuk apa pun pengalaman hidup yang kita temui, bukan berarti bahwa Tuhan sedang menjerumuskan kita kedalam kesengsaraan, melainkan sedang memberi teguran dan pelajaran kepada umat-nya. apa yang akan kita terima berikutnya bergantung pada bagaimana kita menanggapi teguran tersebut: tidak mengindahkan atau malah menerimanya dengan lapang dada dan dilanjutkan dengan sebuah pertobatan.
Jika Tuhan memberi jalan untuk pengampunan melalui tobat, berarti orang bisa berubah dengan tobat (nasuha), yang tidak mempunyai batasan usia selama manusia hidup.
Turning Point yang mengantar saya bertugas di Akademi Militer mendorong saya untuk mulai berpikir tentang diperlakukannya  chacaracter building dan bagaimana mentransformasi tata nilai ke lingkungan kita. Menurut teori Kelly Poulos, seorang internasional management consultant & performance coach, ada empat prinsip yang harus dimiliki seseorang pemimpin: compelling desire (cita-cita membara atau memfokuskan keinginan untuk sukses), solid belief (meyakini kebenaran atas yang dipercayai, atau berkeyakinan kuat terhadap apa yang dilakukan), effective action (bertindak secara efektif), dan iron will (semangat baja dalam menghadapi rintangan).
Saya bersyukur dan beruntung karena tanpa saya sadari,rupanya selama ini teori yang diajarkan Kelly Poulos telah saya jalani dengan sungguh-sungguh. Saya mencoba secara konsisten menerapkan hal-hal itu sehingga secara lambat laun menjadi pribadi saya. Dengan adanya iron will, saya menumbuhkembangkan pemikiran tentang bagaimana melalui character building kita bisa melakukan sesuatu yang baik, yang ternyata uji cobanya justru melalui pengalaman hidup saya sendiri.
Semangat inilah yang kemudian saya lanjutkan di Lemhannas saatmenjadi direktur pendidikan, meskipun penugasan di Lemhannas tidak saya cita-citakan. Akan tetapi, akhirnya saya bisa memetik hikmahnya. Saya bisa melakukan sesuatu yang saya anggap membuat hidup saya betul-betul bisa diabadikan pada hari depan bangsa, yang dengan persutujuan Gubernur Lemhannas, mengodifikasi hal-hal yang berkaitan dengan bidang pendidikan yang sudah dilakukan oleh Lemhannas dari tahun 1965─1980. Itulah sebabnya, keterkaitan saya pada Lemhannas tidak saja karena alasan tentang masa tugas, tapi juga ternyata karena naluri yang sudah saya kembangkan sejak  masih tugas di Magelang, yakni semangat atau keinginan untuk selalu menularkan sesuatu yang saya yakini sebagai kebenaran, bahwa seorang perwira itu harus memadukan antara karakter dan kompetensi untuk bisa melaksanakan tugas secara tuntas. Tak pernah saya duka sebelumnya bahwa lembaga inilah ternyata saya mendapat lahan yang subur untuk menyemaikan misi dan semangat saya.
            Saat mengajar di Lemhannas saya secara konsisten mencoba menularkan tata nilai yang saya anggap benar ini untuk dapat diterima sebagai suatu pembekalan─waktuitu istilah yang saya gunakan adalah strong personality, yang kemudian berubah menjadi ketahanan pribadi yang didukung oleh adanya character building─supaya seseorang bisa menjadi teladan, menjadi inspirasi bagi orang lain, dengan syarat memegang teguh komitmen yang telah diucapkannya. Contoh ini barangkali bisa menjadi sebuah ilustrasi betapa takdir atau nasib adalah suatu misteri ilahi, namun bukan berarti sesuatu yang bersifat mutlak bila memang manusia mempunyai daya dan semangat untuk mengubahnya menjadi lebih baik.
Komitmen Dimulai Dari Hati Yang Bersih

            Ada suatu cerita saat saya bertugas di Kawangkoan. Seperti biasa, setiap terjadi konflik atau pemberontakan di dalam negeri, pasti arus masuk-keluarnya “gerombolan” ke dalam kota sering terjadi, yang umumnyaberkaitan dengan adanya hubungan dan bantuan dari keluarga. Begitu juga dengan di Kawangkoan.
Di Kawangkoan, ada rumah sakit kecil yang dikepalai Mantri L, diawasi seorang dokter berkewarganegaraan Jerman, dr. Henz, dan di bantu beberapa bidan, termasuk Bidan E.M.K. pasukan permesta mempunyai seorang pemimpin, J,T., yang dikenal pemberani, bengis, dan dianggap jagoan karena kebal peluru. Ia sangat ditakuti oleh orang Kawangkoan. Suatu hari, istri J.T. diseludupkan ke rumah sakit Karangkoan karena melahirkan. Disana, Bidan E.M.K turut memeriksa dan memberi perawatan sebagaimana mestinya. Pada bayi akan dilahirkan ternyata bayi itu dalam keadaan tebalik (terguling) sehingga memerlukan peralatan yang lebih canggih, yang tidak dipunyai Rumah Sakit Kawangkoan
Petugas yang harus menangani kelahiran bayi itu sebetulnya bukan Bidan E.M.K, tetapi ia hanya diminta untuk membantu menanganinya. Pada saat yang sama, J.T mengintimidasi Bidan E.M.K bahwa istri dan anaknya harus selamat. Padahal bayi itu dalam keadaan sulit, dan mereka harus memilih: selamatkan ibu atau anak. Sang bidan terus berusaha menangani kelahiran bayi tersebut, meskipun si bayi tersebut meninggal. Si ibu selamat. Kejadian itu mendorong J.T. masuk menyusup ke Kawangkoan, mendatangi rumah sakit dengan satu tujuan: membunuh bidan E.M.K yang menyebabkan anaknya meninggal. Bidan E.M.K ternyata tidak gentar. Ia berani menghadapi J.T. dan mengatakan,”saya telah membantu dengan segala kemampuan yang ada pada saya, tetapi bukan yang mengatur kehidupan. Bahwa bayi itu meninggal, bukanlah atas kemauan saya.” Ucapan yang begitu polos dan jujur akhirnya mampu menyentuh hati J.T. yang malah berbalik menjadi baik terhadap Bidan E.M.K.
Dari cerita tersebut, kita melihat betapa seorang Bidan E.M.K. mampu menampilkan dirinya sebagai sosok professional yang tahu apa artinya komitmen, tahu apa artinya menerima tanggung jawab, dan betul-betul mencerminkan karakter mulia dan jati diri yang tidak tergoyahkan. Hal ini tidak jauh dari penampilan Bidan E.M.K sehari-hari yang dikenal sebagai seorang yang keras, sangat disiplin, dan sangat ringan tangan─mau menolong orang banyak. Tak heran bila dalam keseharian ia disayangi orang banyak.
Bila kita kembali bicara tentang Rudy Hartono,maestro bulutangkis Indonesia, barangkali tidak semua orang paham bahwa prestasi yang telah dicapainya dalam kurun waktu puluhan tahun itu, bukan sekedar mengandalakan bakat, melainkan juga berkat gemblengan sang ayah, Zulkarnaen Kurniawan. Pada awalnya, Zulkarnaen menemui banyak kesulitan dalam menggembleng sang anak, khususnya dalam hal pengembangan fisik dan mental. Kesulitan utama adalah menambahkan disiplin pribadi dan rasa tanggung jawab kepada Rudy Hartono. Maklum saja, saat itu Rudy Hartono tak berbeda dengan anak-anak sebabnya yang memiliki kemauan sesukanya. Namun, berkat usaha keras sang ayah, sedikit demi sedikit dalam diri Rudy Hartono mulai tertanam disiplin pribadi yang kuat, kemauan yang keras untuk berlatih, serta cita-cita dan ambisi untuk menjadi seorang juara. Rudy Hartono berhasil menempa karakternya melalui kedisiplinan dan komitmen yang luar biasa. Tanpa kerja sama yang baik dikedua belah pihak,mustahil akan lahir seorang Rudy Hartono yang prestasinya menjadi legenda dunia.
Hal yang sama berlaku pula bagi petinju legendaris, Mohammad Ali, yang sejak awal sudah menyadari bahwa untuk menjadi seorang juara sejati, karakter seseorang harus dibangun bukan sekedar mengandalkan latihan fisik, melainkan juga “dari dalam”.
Apabila seseorang berhasil membangun karakter dirinya, separuh jalan untuk menjadi seorang professional bisa dikatakan sudah dilaluinya. Separuh jalan berikutnya adalah melatih ketahanan komitmen yang ada pada dirinya.
Komitmen adalah suatu bentuk pengejawantahan dari kemauan atau niat seseorang. Menurut John C. Maxwell, makna komitmen bisa berbeda-beda untuk setiap individu. Untuk seorang pembulu tangkis, misalnya, komitmen adalah kemampuan dan kenmauannya untuk bangkit dari setiap kekalahannya dilapangan dan mulai bertanding lagi, sedangkan untuk seorang petinju, komitmen adalah kemampuan dan kemauannya untuk bangkit berdiri dari kejatuhannya diatas ring dan mulai bertinju kembali. Sementara untuk seorang prajurit, komitmen adalah kemampuan dan kemauannya untuk mendaki bukit tanpa mengetahui apa yang ada atau terjadi dibalik bukit itu. Adapun untuk seorang rohaniwan, komitmen adalah kemampuan dan kemauannya untuk meninggalkan kenyamanan kehidupan duniawinya demi membantu orang lain memperoleh kehidupan yang lebih  baik.
Agama juga mengajarkan bahwa takdir (pilihan takdir banyak dan harus didalami melalui agama) bisa diubah melalui doa yang mendapat rida Tuhan. Hakikat doa adalah tuntunan pada diri sendiri untuk melakuakan peruabahan, misalnya meminta agar tanaman kita tumbuh subur indikasinya kita harus merawat, menyirami, memupuk, dan sebagainya, bukan hanya minta subur, tetapi tidak melakukan apa-apa.
Komitmen ini akan semakin kompleks seiring dengan semakin luasnya cukupan tanggungjawab yang diemban seseorang. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi pemimpin, setidaknya semua komitmen yang sudah disebut tadi harus merupakan bagian diri dirinya sebab ia akan menjadi tempat bergantung semua orang yang dipimpinnya.
Pemimpin yang memiliki komitmen adalah seorang “doer” (pelaku), bukan lagi seorang “dreamer” (pemimpi), sehingga bila ia sama sekali tidak memiliki komitmen, ia tidak akan pernah dipatuhi oleh orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, komitmen yang tulus dapat memberikan inspirasi dan menarik perhatian orang karena mencerminkan bahwa pemimpin tersebut memiliki keyakinan.
Kunci untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif bukan terletak pada upayanya agar rakyat mematuhi dan mengikutinya,tetapi untuk menjadikan dirinya sebagai seseorang yang harus diikuti rakyatnya. Dalam hal ini, pemimpin harus menjadi seseorang yang dipercayai oleh rakyat untuk membawa mereka kearah yang lebih baik sebagaimana diinginkan oleh rakyatnya. Dengan perkataan lain, hak untuk memimpin hanya bisa diperoleh/ dicapai karena kepercayaan yang telah diberikan rakyat kepadanya dan bukan direbut.
Pada hakikatnya, komitmen dimulai dari hati yang bersih,yang tak lain adalah kejujuran. Kejujuran merupakan mahkota yang sangat berharga karena akan mencerminkan kepribadian seseorang dan dapat menjadikannya seseorang pemimpin yang disegani. Tanpa memiliki kejujuran, seseorang pemimpin bisa saja ditakuti oleh anak buahnya, tetapi tidak akan disegani.pemimpin yang jujur akan memberikan keteladanan bagi yang dipimpinnya. Pebasket lagendaris,michael jordan, mengatakan bahwa hati yang bersih dapat membedakan apa yang baik dari apa yang hebat. Bila seseorang pemimpin ingin membuat kehidupan yang lebih baik bagi bagi orang lain, kenalilah “hati”-nya untuk memperoleh keyakinan apakah ia seorang yang memiliki komitmen atau tidak.
Komitmen akan diuji melalui tindakan yang dilakukan seorang pemimpi. Ukuran keberhasilan dari komitmen adalah tindakan itu sendiri, sesuai atau tidak dengan apa yang telah diucapkan olehnya selama ini khususnya selama masa kampanye dan diperkuat pula pleh penampilan track recordnya. Dengan kata lain satunya ucapan dengan tindakan. Komitmenlah yang membuka pintu menuju keberhasilan prestasi.
Seorang pemimpin tentu akan menghadapi berbagai tantangan dan tentangan. Dalam waktu-waktu tertentu, komitmen merupakan satu-satunya faktor yang mendorong untuk melakukan perbaikan yang pada akhirnya dapat membuahkan prestasi.
Berdasarkan semua ini, menurut john C. Maxwell, orang dapat dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan komitmen yang ditampilkannya, yakni orang yang tidak mempunyai tujuan dan tidak memiliki komitmen ( cop-outs) orang yang tidak tahu apakah mereka dapat mencapai tujuannya sehingga mereka takut untuk memiliki komitmen ( hold-outs) orang yang ingin mencapai satu tujuan, tetapi kemudian berhenti serta meninggalkan gelanggang karena kondisi semakin penuh tantangan atau tentangan ( drop-outs) orang yang menetapkan suatu tujuan, memiliki komitmen, dan berani menanggung beban dan resiko untuk mencapainya( all- outs).
Pada dasarnya, untuk menjadi orang bertipe al-outs tidaklah sulit. Selama seseorang tidak gampang menyerah atau putus asa, ia sudah memilki modal dasar untuk memenuhi kriteria-kriteria yang dituntut dari tipe all-outs. Namun, menanamkan modal dasar ini ternyata juga bukan perkara mudah sebab putus asa dan menyerah kalah justru merupakan kelemahan terbesar yang dimiliki manusia.
Dalam hidup bermasarakat, kita seolah sudah dicekoki bahwa mengalami”kegagalan” adalah sesuatu yang buruk, memalukan, atau aib yang tak terampukan. Padahal, kenyataan justru berbeda, orang yang berhasil umumnya mengalami kegagalan lebih banyak dari pada mereka yang tidak berhasil.oleh karena, orang yang berhasil cenderung melakukan percobaan lebih banyak dari pada orang tidak berhasil. Mereka yang mencoba lebih banyak kemungkinan gagalnya juga lebih banyak, tetapi mereka belajar dari kegagalan itu. Sebaliknya, orang yang tidak berhasil umumnya mudah sekali menyerah setelah berusaha sekali dan gagal.” He who makes no mistakes, makes no progress,” kata teddy roosevelt.
Usaha mengembangkan semangat kompetisi untuk menjadikannya bagian dari budaya bangsa bukanlah perkara mudah. Pada tahun 1985, dalam suatu konvensi KKT yang dihadiri oleh kepala negara di Istana Bogor, (presiden) soeharto menyampaikan bahwa ‘ suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, kita harus siap menghadapi kompetisi dengan adanya globalisasi ini “. Apa yang dikatakan oleh soeharto itu benar adanya, tetapi saya lalu berpikir bagaimana mungkin bangsa ini disuruh berkompetisi kalau masalah kompetisi saja belom bisa dijadikan budaya. Bagaimana kompetisi akan tumbuh sebagai dari budaya kalau budaya yang sedang tumbuh subuh saat itu adalah budaya ABS ( asal bapak  senang ), sebuah tren budaya mencari selamat, tidak berani berlawan pendapat karena akibatnya justru membuat sengsara.
Paham ABS  yang betul-betul sudah menjelma menjadi suatu budaya itu benar-benar merusak karakter seseorang. Mengapa demikian? Oleh karena, hukum yang berlaku dalam paham ABS adalah bagaiman membuat orang lain senang terutama ditujukan kepada orang yang jabatannya lebuh tinggi apapun caranya, termasuk misalnya dengan menyisipkan data-data yang tidak benar. Cara ini sama saja dengan mendidik seseorang untuk menjadikan pembohon.
Pembahasan mengenai perilaku ABS ini sempat saya angkat ketika mengajar materi proses pengambilan keputusan. Saya tekankan dan saya simpulkan bahwa didalam konteks pengambilan keputusan, perilaku ABS halnya dengan membuat wrong inormation. Tidak hanya berhenti disitu sebab wrong information akan menyebabkan terjadinya wrong judgement, yang bermuara pada munculnya wrong decisions yang dapat berakibat fatal.
Dengan demikian, seseorang yang mempraktikkan perilaku ABS sebenarnya tidak lebih dari seseorang kriminal. Para pelakunya mengindikasikan bahwa dirinya tidak memiliki kontol diri yang kuat, tidak berani kompetisi, dan hanya cari selamat. Sebagai seorang yang mengajar masalah konsepsi ketahanan nasional, baik di Lemhannas maupun di lembaga-lembaga lain, dalam memberikan materi konsepsi ketahanan nasional, saya selalu menyisipkan pemikiran-pemikiran tentang bottom up aproach, sebuah pendekatan yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari diri sendiri. Pemikiran ini ternyata sangat mudah ditangkap, diterima, dan bahkan dirasakan kebenarannya.
Pengalaman ini setidaknya memberi gambaran bahwa sebagai pribadi-pribadi yang unik, sebenarnya semua manusia itu pandai, tetapi adakalanya kurang bisa secara tegar tampil sebagai dirinya. Dalam kehidupan keluarga misalnya, umumnya ketahanan keluarga-keluarga di indonesia masih sangat lemah, dan diperparah lagi dengan kasus-kasus perselingkuhan yang sungguh berpotensi merontokkan keutuhan sebuah rumah tangga. Dalam sebuah bagan,ketahanan keluarga saya tempatkan sebagai” tumpuan “ karena keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu organisasi bermasyarakat. Oleh karena itu, kalau saja bangsa indonesia memiliki ketahan keluarga yang kokoh sebagai sebuah tumpuan atau stronghold, secara teoretis bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kondisi umum yang berkembang hingga saat ini adalah ketahanan keluarga yang lemah dan ketahanan pribadi yang tidak kuat. Akibatnya, ketiak pribadi-pribadi seperti ini menjadi pemimpin, fenomena yang muncul adalah tidak bersatunya kata dan perbuatan –bilang “A”,tapi yang dilakukan “B”, atau “ dengar dan lakukan apa yang saya katakan,   tetapi tidak perlu lihat dan permasalahkan apa yang saya perbuat”. Apa bila semakin banyak pemimpin yang memiliki perilaku semacam ini, niscaya bangsa ini akan mengalami krisis keteladanan _minimnya pemimpin yang patut di teladani. Inilah  yang saya maksudkan sebagai objek dari pemikiran bottom up aproac; dari pada sulit mencari anutan, mengapa kita tidak berani tampil menjadi seorang anutan, paling tidak untuk 3 hal : anutan bagi diri sendiri, anutan bagi keluarga, dan anutan bagi setiap bawahan yang dipercayakan kepada kita.
Pemikiran penulisan buku ini sebetulnya juga bermaksud sebagai penggugah transformasi tatanilai seperti yang sudah saya singgung dalam buku pertama saya. Ketahan keluarga memungkinkan dilakukannya transformasi tata nilai keluarga. Jenderal H.Norman Schwarzkopf dalam bukunya, it  doesn’t take a hero, mengunkapkan sebagai berikut:
Ketika ayahku berangkat kemedan perang pada agustus 1942, yang terakhir kali ia lakukan adalah menjadikan aku: kepala rumah tangga :. Aku bersama ayah dan ibuku di halaman belakang, tempat yang selalu aku anggap penuh misteri, semak-semak yang tinggi dan aroma bunga-bungaan dan sebongkah batu tempat memanggang barbecue yang bentuknya mirip mahkota. Kala itu petang hari dan beberapa kunang-kunang mulai keluar; kakak-kakak ku, ruth, ann, dan sally, sibuk didalam rumah. Saat itu aku berumur 7 tahun. Ayah berdiri didepanku dan memberikan semacam pesan tentang alasannya meninggalkan kami, yaitu untuk mengabdi negara. Sebelum pergi, ia mengatakan, ayah mendapat penugasan besar. Kepadaku ia menitipkan para wanita dirumah itu katanya karena pria diciptakan untuk melindungi wanita. Kata ayah, ia sangat yakin melakukan tugas tersebut, dan sebagai bukti kepercayaannya itu, ia memberiku beberapa tugas. Ia lalu masuk kedalam rumah, sementara aku menunggu bersam ibu. Ketika ayah kembali, ia membawa pedang perwiranya: ayah serahkan pedang ini dalam pengawasanmu sampai ayah kembali” katanya ,lalu meletakkan pedang itu ketanganku” kini, anakku, ayah bergantung padamu.tanggung jawab ada dipundakmu. “
Pedang perwira ayah adalah sesuatu yang sakrar dalam keluarga kami. Kami menyebutnya pedang west point ayah karena pedang itu diperolehnya saat lulus pada tahun 1917. Ayah secara gemblang menjelaskan bahwa west point telah membentuk seluruh hidupnya moto west point yang berbunyi” duty,honor,country” adalah keyakinannya, dan kini menjadi keyakinanku.




  B.     MENJADI DIRI SENDIRI
It is not fair to ask of other what you are not willing to do your self.” (Tidaklah adil meminta orang lain melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak ingin melakukannya).

Mempercayai Diri Secara Berlebihan Menimbulkan Disharmoni

Setiap manusia, siapa pun dirinya, tertentu ingin punya hari depan yang baik, yang dalam parameter manusia ditakar dalam bentuk pencapaian suatu keberhasilan. Untuk meraih itu, manusia akan melakukan segala upaya untuk dapat meningkatkan kinerja pribadi, baik dengan meningkatkan kemampuan dalam pengetahuan mau pun keterampilan. Namun, satu hal yang sangat perlu di sadari dan diwaspadai adalah pengembangan watak; setiap pribadi manusia harus memiliki  kemantapan tentang konsep dirinya  mengembangkan kekuatan yang dimiliki dan mengurangi kelemahan yang ada. Sudah sering terjadi, oleh kerena nafsunya besar  suntuk meraih sukses, seseorang bisa mencurahkan selururuh kekuatan yang dimilikinya hanya demi karier. Jabatan dan penghasilan yang sebesar-besarnya ( harta duniawi ).
Inikah yang disebut sukses? Memang, bagi kebanyakan orang, kesuksesan identik dengan pangkat, jabatan, uang, dan fasilitas. Dilihat sepintas, tidak ada yang salah dari hal ini sehingga sering menjadi seseorang berhasil mendapat pangkat, jabatan, dan penghasilan tinggi. Namun, tidak jarang juga terjadi bahwa keberhasilan tersebut harus dibayar dengan pengorbanan yang besar. Keluarga berantakan. Bila semua itu menjawab pertanyaan “inikah yang disebut sukses?” menjadi relevan untuk kemudian dipertanyaakan “hidup itu untuk apa?” apakah lebih baik menjalani hidup tanpamelakukan apa pun dan kemudian sukses karena tidak melakukan apa pun? Ataukah, lebih baik mencoa untuk meraih mimpi, meskipun taruhanya adalah mengalami kegagalan? Pilihan yang pertama menjamin bahwa tidak ada yang diraih, sementara pilihan yang kedua menawarkan kemungkinan bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan.
Theodore Roosevelt pernah mengatakan “lebih baik berani melakukan sesuatu untuk memenangkan piala kejayaan meskipun harus dihiasi dengan kegagalan dari pada dibebani dengan semangat lemah, yang tidak senang juga menderita, karena mereka hidup dalam cahaya kelabu yang tidak mengenal kemenangan dan kekalahan.”
Kalimat bijak itu tampaknya ditujukan kepada mereka yang merasa bangga karena belum pernah gagal, yang bahkan meremehkan orang yang pernah mengalami kegagalan. Padahal ada kemungkinan bahwa mereka yang mengaku belum pernah gagal bisa karena memeng mereka begitu bagus dalam segala hal yang mereka lakukan, atau karena tugas yang mereka lakukan memang sesungguhnya sangat mudah. Akan tetapi, terbuka kemungkinan ketiga : orang-orang semacam ini lebih suka bermain aman dan tidak siap mengambil resiko apa pun. Saya sempat mengalami perjuangna dalam rangka pertumbuhan kejiwaan saya. Saya akui bahwa pada awalnya saya cenderung menjadi seorang yang individualis, seorang yang cenderung hanya mengandalkan otak.
Sedikit saya singgung  kembali peristiwa yang hampir membuat saya mengalami krisis identitas, yakni semasa saya “dikucilkan” dan “dipetieskan” di Bandung. Dalam kurun waktu tiga tahun itu, saya lebih merenung, lebih banyak mencoba memadukan hati (sesuatu yang kini dikenal dengan istilah emotional intelligence) dan otak. Saya sangat bersyukur sewaktu surat keputusan pensiun akan disampaikan, saya sempat mendapat pertanyaan: “apakah tidak ingin mencoba melakukan sesuatu?” sebuah pertanyaan yang kala itu spontan saya jawab dengan nada setengah berharap: “apakah masih ada yang bisa saya lakukan?”. 
Jawaban yang diberikan Mayjen P. Sobiran waktu itu seperti memberi jalan: saya diberi kesempatan untuk menulis surat pada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), apa pun isi surat itu. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan, saya menulis surat kepada KSAD, tetapi isinya bukan untuk meminta pangkat, jabatan, atau uang, melainkan sebuah klarifikasi demi kehormatan pribada dan keluarga. Pengalaman tersebut, termasuk pertemuan saya dengan beberapa pribada yang bisa saya jadikan anutan, cukup menjadi referensi bagi saya untuk menemukan pemikiran bahwa memadukan kompetensi dan karakter saya tidaklah cukup untuk dapat meraih hidup yang bermakna atau “sukses sejati”. Kita harus menambah dengana memadukan tiga unsur yaitu kompetensi, karakter dan tuntutan ilahi (spiritual intelligence).
Oleh karena itu, saya bersyukur dan berterima kasih ketika kembali mendapat penugasan. Bagi saya, janji yang pernah saya ucapkan untuk tidak berbicara pada orang lain tentang kasus yang menimpa saya, saya anggap sebagai ujian bagi seorang mantan komandan resimen taruna yang pernah mengajarkan tarunanya untuk tetap melaksanakan tugas, meskipun tidak ada yang mengawasi. Teguh memegang janji dan mematuhi sesuatu yang pernah saya ajarkan ternyata bukan hal mudah, tetapi dapat kita lakukan dengan modal displin yang kita tanamkan didalam diri kita.

            Melengkapi IQ dengan EQ

Daniel Goleman, penulis Emational Intelligence (1996) mengatakan bahwa orang yang ber-IQ tinggi, tetapi EQ-nya rendah, cenderung mengalami kegagalan yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang IQ-nya rata-rata, tetapi EQ-nya tinggi. EQ atau Emational Quotient adalah kemampuan seseorang untuk memahami apa yang dirasakan atau dipikirkan orang lain. Hal ini, sekali lagi, menunjukan bahwa penggunaan olah rasa atau hati dalam perilaku manusi sangatlah penting. Dengan kata lain, kepandaian bila kita didukung oleh kualitas moral manusia, akan menyebabkan tertutupnya mata hati atau rendahnya EQ.
Goleman menjelaskan bahwa kesuksesan kinerja manusia umumnya didukung oleh 85% EQ faktor-faktor lain terkait dan 15% IQ. Peran EQ begitu signifikan sebab sebelum otak menetukan pelaksanaan sebuah tugas, ia akan menunggu komandan dari hati. Oleh karena itu, bisa dibayangka bila mata hati tertutup, otak akan bekerja tanpa tuntutan hati nurani, sebagaimana telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.






MEMADUKAN IQ & EQ UNTUK MENCAPAI KEBERHASILAN
 






CONCEPTUAL SKILL



TECHNICAL SKILL
HUMAN SKILL
                        TOP MANAGEMENT

                        MIDDLE MANAGEMENT

                        LOW MANAGEMENT
DANIEL GOLEMAN :
                                                                                                 EMOTIONAL INTELLIGENCE

Gambaran 3.1 memadukan IQ dan EQ untuk Mencapai Keberhasilan

Untuk memberikan gambaran konkret mengenai bagaimana memadukan EQ dan IQ dalam mencapai keberhasilan, dihalaman 60 terdapat matriks yang menggambarkan tiga bentuk skill yang harus dimiliki, yaitu conceptual skill, technical skill, dan human skill pada top management, midlle management, dan low management.
Berdasarkan diagram terlihat kaitan antara conceptual skill, technical skill, dan human skill. Mereke yang berada dijajaran top management dituntut memiliki conceptual skill sebesar ± 60%, dan hanya membutuhkan technical skillsebesar ± 10%. Sebaliknya, bagi mereka yang berada dijajaran  low management, diperlukan penugasan technical skill± 60%, dan hanya ± 10%. penugasan  conceptual skill. Sementara, untuk jajaran midlle managementpenugasan kedua skill tersebut harus sama besar (seimbang).
Jika kita perhatikan seksama diagram diatas, ada sesuatu yang menarik untuk dicermati. Ternyata human skill yang dibutuhkan baik oleh  top management, midlle management, maupun low management sama besar, yaitu sekitar ± 30%. top management membutuhkan human skill untuk memotivasi bawahan sehingga mereka mau melakukan apa yang diarahkan untuk mencapai hasil optimal. Disini, yang dibutuhkan bukan kepandaian, melainkan olah rasa yang sangat berperan dalam menggerakan bawahan agar mau menuruti perintah atasan.
Sebaliknya bagilow management, melalui human skill mereka dapat meyakinkan atasantentang sesuatu yang diyakini kebenarannya, tetapi perlu dikomunikasikan dengan atasanya. Human skill juga diperlukan oleh mereka yang berada ditengah (midlle management), sebagai jembatan yang baik t6anpa kehilangan kepribadiannya.
Meskipun demikan, paparan ini bukan mengajak kita untuk mengabaikan pentingnya IQ dalam pembinaan pemikiran, sikap, dan perilaku manusia yang utuh. IQ tetap perlu dikembangkan karena menyakut pengetahuan dan keterampilan manusia. Sementara, EQ juga harus di tampilakan sebaiki-baiknya, bahkan kalo perlu di latoh agar menjadi mitra kerja bagi IQ.
Saya sudah bercerita tentang wasiat dari ibu saya yang meminta saya untuk : “sing eling lan ojo dumeh”. Wasiat tersebut ternyata sangat bermanfaat dan mampu menimbulkan perubahaan kejiwaan saya, yang semula hanya mengandalkan IQ. Saya menjadi terpanggil untuk menumbuh kembangkan IQ di dalam diri saya.
Itulah salah satu bekal yang saya bawa hingga di tugaskan di Lemhannas dan berkenalan dengan konsepsi Ketahanan Nasional. Secara konseptual dan formal, di sinilah saya mulai berpikir tentang pentingnya jati diri manusia. Akan tetapi, bila kehidupan saya dilihat secara utuh, boleh dikatakan bahwa pemikiran tentang jati diri manusia sebenarnya mencerminkan perjuangan dan pergumulan saya di dalam hidup, karier, dan pertumbuhan kejiwaan. Melalui pergumulan itu, saya menjadi semakin yakin bahwa Tuhan sayang kepada saya sebab berdasarkan cobaan yang saya alami di masa awal karier, seharusnya  saya sudah dipecat dari dinas militer. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi, bahkan sebaliknya, Tuhan “mengirimkan” utusan-utusan terbaiknya, yakni Jenderal Gatot Soebroto, juga istri saya yang jauh lebih muda. Meskipun jauh lebih muda, dari istri saya itu saya menemukan bahwa menggunakan hati nurani berbarengan dengan character building merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan, baik bagi seorang perwira maupun kehidupan manusia pada umumnya.
Pada perkembangannya, character building saya yakini bukan hanya dibutuhkan oleh perwira, tetapi juga oleh semua manusia demi terselenggaranya kehidupan manusia yang lebih baik. Dari situlah saya lalu berusaha mendewasakan diri dengan memadukan IQ (yang semula menjadi prioritas saya) dengan menumbuhkembangkan EQ. kuatnya keyakinan tentang pentingnya character building mendorong saya untuk mengembangkan konsep jati diri,

            Memegang Teguh Prinsip “Knowledge is power but character is more”

Seorang teman yang baru pulang dari sebuah kunjungan kerja ke Tokyo, Jepang, bercerita kepada saya dengan penuh semangat. Katanya, meskipun kunjungannya hanya dalam bilangan hari, ia dapat merasakan betapa masyarakat Jepang memiliki karakter yang prima dalam hal kedisiplinan. Salah satu hal yang sempat ia perhatikan adalah, bahwa setiap kali mengunjungi tempat-tempat yang memiliki escalator, semua orang selalu berdiri di sebelah kiri. Hal yang sama juga ia temui di kota-kota lain yang sempat dikunjunginya di Jepang.
Suatu kali, sebagaimana kebiasaannya di Indonesia, karena asyiknya mengobrol dengan teman Jepangnya, ia naik escalator dan berdiri berdampingan. Apa yang terjadi? Dengan sopan si teman Jepang memintanya untuk bergeser, berdiri di sisi kiri. Ketika hal itu ia tanyakan, jawabannya sungguh mencenangkan: itu adalah etika naik escalator. Sisi kanan sengaja dibiarkan kosong, untuk member ruang bagi mereka yang tergesa-gesa sehingga harus “berjalan” di tangga berjalan itu. Sebuah aturan tak tertulis, tetapi dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa.
Sepulangnya ke Jakarta, ia mengaku dihantui rasa kecewa dan sedikit frustasi saat kembali menyaksikan pemandangan yang bertolak belakang dengan yang dialaminya di Jepang. Dalam kekecewaannya itu, ia mencoba menghibur diri dengan kata-kata penghiburan: “ini sudah di Jakarta, Indonesia, bukan di Tokyo, Jepang lagi.”
Pada suatu pagi ia berkunjung ke apartemen kolega Jepangnya itu, yang sebagian besar penghuninya adalah orang Jepang. Sekali lagi ia merasa takjub manakala menemukan pemandangan yang hamper serupa dengan yang dilihatnya di Tokyo. Pagi hari, ketika bus sekolah  datang menjemput, ia menyaksikan betapa anak-anak yang hendak berangkat sekolah, berbaris tertib, antre, massuk dalam bus. Tidak berebut dan tidak ada sikut-sikutan. Ia tersentak karena ternyata kata-kata penghiburannya dulu meleset sebab kali ini kejadian itu berlangsung di Jakarta, bukan di Tokyo.
Teman itu mengatakan, alangkah indahnya bila hal yang sama bisa terjadi di masyarakat kita. Tidak perlu menyeluruh, cukup di wilayah DKI Jakarta saja, misalnya. Jawabannya tentu tidak semudah teorinya. Apa yang ia alami tadi adalah hasil atau buah dari suatu usaha. Kita tidak pernah tahu, berapa lama waktu yang dibutuhkan masyarakat Jepang untuk menanamkan kedisiplinan semacam itu. Awalnya tentu hanya merupakan imbauan, tatacara, atau tuntunan etika. Namun, ketika hal itu dipatuhi, diteladani, dan disemai oleh seluruh lapisan masyarakat (bangsa), apa yang semula hanya berupa imbauan, tatacara, atau tuntunan etika itu akan mengalami kristalisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bermetamorfosis menjadi suatu karakter bangsa.
Penjelasan singkat tersebut rupanya justru semakin menguatkan rasa kecewa dan frustasi teman saya. Baginya, itu sama saja  saya mengatakan bahwa tidak mungkin mengharapkan hal yang sama terjadi di negeri ini.  Sebuah lonceng kematian bagi harapannya. Namun, saya katakana lagi bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita masih berada di bawah langit. Saya lalu menyampaikan bahwa saya pernah mengintrodusir sebuah pendekatan yang bersifat bottom up, yang agaknya menarik untuk diterapkan sebagai eksperimen penyemaian disiplin ini. Kepada teman itu saya katakana “cobalah mulai dari dirimu”. Mulailah mendisiplinkan diri sendiri untuk selalu berada di sisi kiri setiap kali menaiki escalator. Setelah itu, kenalkanlah kebiasaan  itu kepada anggota keluarga, lalu meningkat ke lingkungan: baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan kerja. Bila mereka merasakan manfaatnya, tentu dengan sendirinya mereka akan menularkan kedisiplinan ini kepada lingkungan masing-masing.
Sebetulnya, masalah kecewa atau frustasi bukanlah sesuatu yang ingin saya tekankan di sini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak ada kata terlambat untuk menyemaikan sesuatu yang positif; yang ada hanyalah, seberapa kuat ketahanan dan komitmen kita dalam melaksanakannya. Sepanjang hidup dan proses karier saya, pemikiran yang terus tumbuh dan berkembang adalah keinginan untuk menjadi sosok yang mempunyai strong personality, yang pada akhirnya saya lihat akan terwujud melalui adanya character building. Pada waktu mengembangkan pemikiran tentang ketahanan pribadi, saya mengalami bahwa lingkungan untuk penyemaiannya sebetulnya tidak terlalu kondusif sehingga pemikiran tersebut tidak berkembang, meskipun di sisi lain tidak ada yang menolak atau mengatakan bahwa pemikiran itu tidak baik. Akan tetapi, sekali lagi, dengan mengembangkan apa yang antara lain dikatakan Kelly Poulos, saya terus berusaha mencapainya meskipun dengan susah payah.
Contoh yang sudah saya ceritakan pada bab sebelumnya adalah tekad yang timbul sewaktu saya masih berumur belasan tahun, yakni tekad untuk meningkatkan harkat dan martabat diri pribadi dan keluarga yang akhirnya saya canangkan dengan menggunakan pemeo “di mana ada kemauan di sana ada jalan”. Meskipun, pada suatu penggal perjalanan hidup saya agak kebablasan sehingga menjadi orang yang terlalu individual. Bahkan, barangkali bisa dikatakan mengarah pada sebuah kesombongan diri, merasa paling pintar, paling “berisi”. Fase tersebut tidak berakibat fatal dalam kehidupan saya, tetapi berdampak pada perjalanan karier yang tidak terlalu mulus.
Memnag, manusia seolah selalu melawankan kualitas kepala (otak) dengan kualitas hati. Hati selalu diidentikan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan kelembutan, rasa, dan kedermawanan, sementara otak dikaitkan dengan sesuatu yang tegas dan pemikiran realistis. Ada suatu pemikiran tradisional, yang mengidentikan hati dengan pusat intelegensi dan otak sebagai instrument pemikir. Hanya kepala (otak) yang dapat menguraikan makna, menyelesaikan masalah-masalah teknis, dan menyimpan memori-memori. Namun, tidak ada pengetahuan yang dapat memberi “rasa” tentang mana yang benar atau mana yang indah. Begitu pula soal keberanian, tidak dilahirkan oleh pengetahuan, melainkan oleh rasa. Oleh karena itu, terhadap segala hal yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, kepala atau otak tidak dapat memberi referensi emosional dan spiritual. Kepala bisa saja pintar, tetapi tidak bijak. The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched. They must be felt with the heart (apa yang terbaik dan terindah di dunia ini tidak bisa dilihat dan disentuh, melainkan harus menggunakan perasaan dari hati), begitu kata Helen Keller.
Pandangan yang mendikotomikan hati denagn kepala juga merupakan cirri dari system ekonomis. Keberhasilan seseorang di sekolah atau organisasi pada umumnya lebih ditunjang oleh kualitas kepala (otak), bukan hati. Begitu pula dengan keberhasilan dari para pengejar karier. Sebaliknya, para petani dan pengrajin dikatakan sebagai manusia yang bekerja dengan hati yang penuh perhatian. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini tidaklah kurang memiliki kapasitas intelektual, tetapi situasi dan kondisi masyarakatlah yang tidak mendorong mereka untyk berpikir kritis, menganalisis, dan menemukan hal-hal baru. Mereka tidak dapat meniti tangga hierarki sekolah dan korporasi untuk mencapai pintu masuk ke dalam pengetahuan teknis, teoretis.
Oleh karena itu, dalam menjalani hidup, tampaknya kita harus memilih kepala atau hati, atau mencari keseimbangan di antara keduanya. Kearifan tradisional menyatakan bahwa keseimbangan bisa diperoleh misalnya, bila seseorang memilih kepala untuk sekolah atau bekerja, di rumah ia harus bertindak dengan hati. Inilah yang memungkinkan orang tersebut beralih karakter ibarat berganti pakaian.
Namun, bila kita menganggap bahwa antara kepala dan hati merupakan satu kesatuan dari tubuh yang utuh, dalam hal ini hati bukan hanya berfungsi sebagai pemberi rasa kasihan dan kemurahan hati, melainkan juga berpartisipasi dalam menentukan persepsi pengalaman seseorang, kualitas pengetahuan, kapasitas untuk mengafirmasi (kebenaran atau kemuslihatan, kecantikan atau keburukan), dan hasrat untuk beraksi (keberanian).
Persepsi pengalaman bergantung pada keterbukaan hati kita terhadap pengalaman. Melihat orang lain sedih atau gembira itu biasa, tetapi bila hati kita terbuka bagi orang itu, berarti selain “melihat” kita juga akan mengalami perasaan itu bersamanya. Empati dan rasa kasihan, atau mengalami sesuatu bersama-sama orang lain adalah aktivitas dari hati yang terbuka dan mau mendengarkan.
Kualitas pengetahuan menunjukan terlibat atau tidaknyahati dalam setia keputusan yang kita buat. Kepandaian kita akan menyimpan data-data dari dan tentang orang lain, tetapi tidak ikut mengalami sesuatu bersama orang tersebut. pengetahuan yang didapat keala tanoa melibatkan hati akan mencuci emosi. Ibarat computer, kepala bisa menarik kesimpulan berdasarkan pada data-data yang telah tersimpan dan terprogram. Tanpa melibatkan hati, kepandaian dapat meneliti persoalan manusia secara ringkas dan bernalar. Sebaliknya, bila hati ikut terlibat, kualitas hati akan memengaruhi apa dan bagaimana dari sesuatu yang kita ketahui itu. Bila hati kita kekanak-kanakan misalnya, pengetahuan kita, terutama tentang manusia, akan kabur dan terdistorsi. Bila hati kita lemah dan ketakutan, kita tidak akan tertarik untuk mengetahui sesuatu yang “melawan” ketakutan kita itu. Bila hati kita cemburu, kita ingin bersembunyi dari pengalaman-pengalaman yang “menggerogoti hati kita”.
Dengan kata lain, hati adalah pusat kesadaran, sedangkan kepala adalah pusat konseptualisasi. Keduanya saling melengkapi, tidak dapat dipisahkan. Kepala berpikir, tak dapat bertindak. Kepala yang terpisah dari hati tidak dapat menegaskan atau menginginkan. Afirmasi akan keyakinan dan penolakan terhadap hal jahat harus datang dari hati yang kuat dan berani karena dari sanalah seseorang dapat mengalami perbedaan antara kebenaran dan kesalahan. Begitu pula, keinginan untuk menghancurkan dan mengeksploitasi orang lain juga berakar dari hati, yakni bila hati yang keras atau yang tertutup bertemu dengan kepala yang melulu berorientasi teknik, yang mencari kemungkinan-kemungkinan, dan yang berisi pengetahuan “saja”. Oleh karena itu, afirmasi bukan merupakan sebuah kontradiksi terhadap sikap kritis. Sebaliknya, sikap kritis justru akan memperkuat afirmasi kita atau malah menyangsikannya sehingga mendorong kita untuk mencari alasan-alasan di balik pilihan yang diragukan tersebut.
Memang, orang yang dapat mengafirmasi  hidup dan kebenaran pun bisa melakukan kesalahan. Kita masih mudah dibodohi oleh ilusi dan angan-angan atau mimpi, tertipu oleh penampilan orang lain, atau terjebak dalam peristiwa-peristiwa yang menyesatkan. Dengan kata lain, lawan dari keragu-raguan bukanlah kepastian, melainkan keyakinan dan kemauan untuk mengambil risiko meskipun itu dianggap salah. Bila kepastian lebih identik dengan sebuah kendali dan ramalan, keyakinan dapat diidentikan dengan upaya untuk ikut terlibat atau mengalaminya sendiri.
Sebagai contoh, orang penakut selalu mencari pelindung atau seseorang yang dapat mengafirmasi hidupnya, sebagai ganti dari hilangnya keyakinan dan kemampuannya untuk bernalar kritis. Inilah yang dimaksud dengan hasrat untuk beraksi (keberanian), mengafirmasi sebuah persepsi atau perasaan yang tidak biasa dan berusaha menghadapinya. Dalam kamus Webster, kata “keberanian” berasal dari akar kata Bahasa Latin atau Prancis, Coeur, yang artinya “Hati sebagai pusat dari intelegensi dari perasaan….”

            Membuka Mata Hati

Bangsa Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang pandai. Potensi sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini sungguh luar biasa. Akan tetapi, mengapa keadaan bangsa dan Negara kita tahun-tahun terakhir ini justru seolah tidak menampakkan kekuatan potensi tersebut? sejumlah pendapat mengatakan bahwa masalah yang dihadapi bangsa ini tidak terletak pada masalah kepala (otak) atau IQ melainkan pada olah “rasa” yang tidak ditampilkan. Atau dengan kata lain hati nurani.
Bicara tentang hati, ada hadis nabi yang mengatakan bahwa “ada segumpal daging dalam diri manusia; kalau daging itu baik, baik lah seluruh tubuhnya, sedangkan kalau daging itu rusak, rusak jugalah seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu tidsk lain adalah “hati”. Saya sangat tertarik untuk mencoba mendalami tentang hati sebab dalam hati nurani itulah terdapat sifat-sifat dasar manusia yang telah ditanamkan Tuhan. Sifat-sifat dasar inilah yang disebut jati diri manusia. Dalam kaitannya dengan hadis nabi tadi, “kerusakan” manusia terjadi tentunya karena hatinya kotor, tertutup oleh segala macam penyakit dan kotoran sehingga sifat dasar yang telah diberikan Tuhan tidak bisa ditampilkan, apalagi ditumbuhkembangkan atau dibangun.
Apabila ini yang terjadi, berarti penampilan seseorang hanya menunjukan cipta dan karsanya tanpa ada filter (saringan) dari hati sehingga timbul apa yang kita lihat misalnya, dalam wujud yang sangat jelas: Negara kita dikenal sebagai Negara paling korup di kawasan Asia. Kita patut malu sebab korupsi yang merajalela itu tidak dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai akal (otak), tetapi tidak diawasi atau dikendaliakn oleh hati yang bersih. Akan tetapi, aib ini tentu saja bukan tidak mungkin untuk dihapus. Hanya satu cara yang dapat dilakukan untuk menghapusnya, yaitu ketulusan kita untuk mau membuka kembali mata hati yang tertutup atau yang telah kotor. Melatih hati yang sudah tertutup dapat dilakukan dengan mengalami, berpikir kritis, serta menguatkan kemauan untuk kemudian melaksanakannya.
Melatih hati seperti ini akan dapat mengalahkan egosentrisme, meningkatkan rasa mau berbagi dengan orang lain, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab moral. Agar sukses melatih hati, diperlukan disiplin, konsentrasi, berpikir kritis, dan kepiawaian berkomunikasi. Tujuannya adalah terwujudnya hati yang berkembang, berintegritas, menjadi pusat spiritual, serta tumbuhnya rasa ke”aku”an yang tidak dimotivasi oleh ketamakan atau ketakutan, tetapi oleh kecintaan akan hidup dan perasaan terhadap sesama.
Salah satu cirri orang yang memiliki hati yang kuat umumnya akan terpancar pada sifatnya yang periang dan memiliki rasa humor. Alasan paling berbahaya tentang mengapa hati tidak berkembang adalah karena individu tersebut mengeraskan hatinya hingga sekeras batu. Hati bisa menjadi jahat karena pikiran dan kemauan si empunya hati hanya diarahkan pada kekuasaan, sementara orang lain dimanfaatkan sebagai objek atau boneka. Hati yang keras umumnya tidak dapat “mendengar” emosi orang lain karena bagi mereka, emosi tersebut hanya  akan melahirkan rasa ketakutan, kecemburuan, kebencian atau keinginan balas dendam. Itulah sebabnya, orang yang dikatakan telah mati, hatinya akan menjelma menjadi orang yang serba tega terhadap siapa pun yang menghadapi masksud dan tujuannya.
Apabila hati tertutup, tindakan yang dilakukan manusia umumnya termotivasi oleh rasa “berani”, nafsu, atau rasa takut. “berani” di sini artinya lebih pada suatu tindakan yang dilakukan demi menjawab risiko yang muncul dari suatu tujuan. Bukan “berani karena berani”, melainkan “berani karena nekat”. Misalnya “berani” korupsi, “berani” berbohong, atau “berani” membunuh, urusan belakangan.
Sebaliknya, bila hati ikut bicara, terminology “berani” dapat disinonimkan dengan “keteguhan hati”. Untuk dapat membedakan “rasa” di antara kedua keberanian tersebut, latihan hati tampaknya menjadi sangat penting. Oleh karena itu, bagi orang yang menyesali perbuatannya dan mau bertobat, mereka harus mampu melakukan perubahan total terhadap hati mereka, yang diawali dengan mengubah pikiran, mengendapkan dalam hati, dan melaksanakannya.
Dengan kata lain, orang yang mengalami penyesalan harus mampu “membenci” dirinya yang dulu untuk dapat menemukan jalan hidup yang baru.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan       

Mengenal diri sendiri merupakan fondasi keberhasilan seseorang untuk mengembangkan karakternya. Oleh karena, dengan mengenal dan mengakui kekuatan, keunggulan, maupun kelemahan pribadi, seseorang akan mudah menerima orang lain apa adanya dan mengakui bahwa setiap individu terlahir dengan keunikan masing-masing. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sejak lahir setiap manusia sudah dibekali dengan keunikan sebagai pribadi, yaitu bahwa manusia itu sendiri dan mandiri karena masing-masing dibekali budi sendiri sehingga tahu apa yang dilakukannya dan mengapa melakukannya. Sebagai pribadi yang mandiri, berarti manusia mempunyai kemerdekaan untuk menentukan dan memutuskan sendiri apa yang akan diperbuat. Itulah keunggulan manusia dibandingkan dengan ciptaan tuhan yang lain, yang dengan berbekal kekuatan itu manusia akan selalu berkembang dan ia tidak pernah berhenti dalam ke –kini-anya.

Menjadi diri sendiri melalui proses mengenal diri adalah menumbuhkan pengendalian diri karena dalam mengembangkan dirinya seseorang harus senantiasa berjalan pada potensi-potensi yang dianugerahkan padanya. Selain itu, banyak orang menjadi apa yang dikatakan orang lain dan menganggapnya itu sesuai dengan dirinya. Yang perlu disadari adalah bahwa setiap orang itu berbeda dan unik. Tak ada orang yang sama. Mereka dianugerahi kemampuan, potensi dan bakat yang berbeda-beda.Tugas manusia adalah menggunakan semua itu untuk kemajuan kehidupan ini. Tujuan mengenal diri untuk pengembangan karir adalah mengenal apa potensi-potensi, bakat-bakat, kemampuan dan ketrampilan yang ada pada diri agar bisa digunakan untuk kemajuan karir. Selain itu, mengenal diri akan menumbuhkan kesadaran dan pengendalian diri, suatu bentuk pengembangan emosi dan spiritual yang dibutuhkan untuk mengiringi langkah kemajuan karir.
Semua orang bisa memiliki karisma asal ia mau mengenali diri sendiri dan mengembangkannya. John C. Maxwell mencatat setidaknya untuk bisa memiliki karisma seseorang hatus mampu:
1.      Mencintai kehidupan; orang yang lebih menyukai sosok yang bisa menikmati hidup daripada sosok yang bisanya hanya menggerutu, mencaci maki atau mudah putus asa.
2.      Menghargai orang lain; hal yang terbaik yang bisa kita dilakukan untuk orang lain adalah menghargai mereka. Cara ini sangat tidak merugikan kita, tetapi sangat menyenangkan bagi orang lain. Benjamin Disraeli, mantan Perdana Menteri Inggris, mengatakan, “Hal terbaik yang dapat Anda lakukan kepada orang lain bukanlah membagi kekayaan Anda, melainkan menunjukkan kekayaan mereka.”
3.      Membangkitkan harapan; harapan adalah milik semua orang. Jika kita bisa menjadi orang yang mampu membangkitkan harapanorang lain, mereka akan tertarik pada Anda dan mengidolakan Anda. Napoleon Bonaparte adalah contoh pemimpinyang mampu membangkitka harapan-harapan pada rakyatnya.
4.      Berbagi (sharing); seorang yang dengan sepenuh hati dansepenuh hidupnya mau berbegi dengan sesamanya, bila kelak menjadi pemimpin akan dicintai oleh pengikutnya.



sumber
Soedarsono, Soemarno. 2005. Harsat Untuk Berubah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar